Violet's Heart

Bentang Pustaka
Chapter #3

Please, Go!

Dua bulan berlalu, dan aku benar-benar menjaga jarak dengan Ian. Mungkin kata-kata Papa saat itu benar-benar menjadi pagar untukku. Aku benar-benar tidak pernah “dekat” dengan Ian. Sebisa mungkin tidak mengobrol dengannya, mengganti kelompok bila seharusnya kami praktikum bersama, dan seribu usaha lainnya yang kulakukan untuk menunaikan permintaan Papa.

Sepulangnya Papa dari penjara, Papa maupun Mama tidak pernah membahas lagi tentang hal-hal yang berkaitan dengan ditangkapnya Papa delapan bulan yang lalu. Aku hanya mendengar selentingan kabar yang mengatakan bahwa Papa terlibat kasus suap ke salah satu institusi pemerintahan atau semacamnya. Papa yang seorang pengusaha di bidang ekspor tekstil, dijerat kasus KKN yang mengharuskannya menghabiskan waktu tiga tahun di penjara. Namun, karena adanya banding yang diajukan dan sidang lanjutan, hukuman Papa menyusut menjadi delapan bulan.

Papa selalu mengatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Menurutnya, otak dari semuanya adalah Danu, pria yang saat di lapas waktu itu bersama Ian. Pria yang kata Papa, adalah ayahnya Ian.

Sejak mengetahui hal itu, aku benar-benar menjaga jarak dengan Ian. Perasaanku campur aduk. Aku tidak bisa mendefinisikannya secara spesifik. Tapi yang jelas, ada marah dan penasaran yang saling berkelahi dalam tubuhku. Untuk menetralkan semua dan tidak membuat masalah bagi Papa atau Mama, aku diam saja. Sampai kemudian aku bisa menjadi anak baik yang menjaga janjiku kepada Papa. Untungnya, Ian juga tidak pernah bertanya tentang pertemuan tak sengaja kami di lapas. Instingku mengatakan bahwa dia juga tidak memberi tahu kepada siapa pun. Hidupku baik-baik saja di sekolah. Tidak ada yang menyinggung kasus Papa yang pernah masuk penjara.

Hidupku terbilang tenang. Hingga kemudian aku bertemu hari ini. Saat aku dan teman-teman sekelasku sedang berada di dalam bus menuju Yogyakarta, kemudian Pacitan, untuk mengunjungi beberapa gua yang ada di sana. Kami sedang melaksanakan study tour.

“Gue ke belakang dulu. Anak-anak lagi gitar-gitaran, tuh.” Tifa yang hari ini mengepang rambutnya dan menyampirkannya ke bahu kanan, menyengir lebar.

Tifa memang bisa dibilang tidak mau diam. Sejak bus ini berangkat dari Bandung subuh tadi dan sudah menempuh perjalanan selama enam jam—tujuan pertama kami adalah Yogyakarta terlebih dahulu, baru nanti ke Pacitan—Tifa tidak bisa duduk di tempatnya lebih lama dari setengah jam. Dia bolak-bolik ke sana kemari.

Seandainya Andin satu kelas dengan kami, aku mungkin tidak perlu menjadi mirip dengan anak sebatang kara, gara-gara ditinggal-tinggal oleh Tifa.

“Ya, gih, sana,” kataku sambil geleng-geleng kepala.

Setelah Tifa berlalu untuk bergabung dengan teman-temanku di barisan belakang—mereka bernyanyi keras-keras—aku memutuskan untuk membaca komik saja.

Kurogoh tas punggung yang kusimpan di kanan tubuhku, merapat ke jendela, kemudian mengambil komik berjudul Hologram edisi terbaru.

Aku sedang serius membaca saat tiba-tiba menyadari seseorang sudah duduk di samping kiriku. Aku menoleh dan mendongakkan kepala sedikit.

Awalnya, kukira Tifa. Tapi, rupanya aku salah besar. Yang kuhadapi sekarang adalah sebuah mimpi buruk.

***

Ada kepanikan yang menjalariku saat kulihat Ian sudah duduk di sampingku. Tidak seperti caranya memandangiku lekat-lekat ketika kami berada di lapas, kali ini Ian fokus memperhatikan komik yang masih ada di tanganku.

Aku menundukkan kepala, memejamkan mata sesaat, berusaha terlihat senormal mungkin di depan matanya.

Aku tidak tahu apa yang akan Papa lakukan bila mengetahui aku yang berniat untuk berbicara kepada Ian duluan. Bukan apa-apa, aku ingin dirinya segera berlalu, bukannya malah dekat-dekat denganku.

“Kenapa di sini? Lo ngedudukin kursinya Tifa,” kataku. Sengaja kuberi tekanan pada suaraku, agar dia paham bahwa aku tidak ingin dia duduk di sampingku.

“Lo suka komik itu?”

Dahiku mengerut seketika. Apa yang dia bicarakan? Aku sedang mengusirnya, tapi dia malah mengalihkan topik pembicaraan.

“Gue lagi nggak ingin basa-basi. Jangan duduk di tempatnya Tifa,” akhirnya aku mengatakannya secara gamblang. Aku tidak mempertimbangkan apakah dia akan tersinggung atau tidak. “Kalau lo paham, silakan pergi. Jangan ganggu gue lagi.”

Lihat selengkapnya