Pagi ini, Viona terbangun lebih awal dari biasanya. Alarm belum berbunyi, namun matanya sudah terbuka. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati, sesuatu yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya.
Ia beranjak dari tempat tidur dan melangkah menuju dapur, menyeduh secangkir kopi. Suara mesin kopi yang berderak terdengar lebih keras dari biasanya.
Ia duduk di meja, menatap cangkir kopi yang masih panas, pikirannya melayang ke pertemuan singkatnya dengan Arya kemarin.
"Kenapa sih gue masih mikirin dia?" gumamnya pelan, berusaha mengusir bayangan wajah Arya dari kepala.
Namun, kesibukan pekerjaan datang tanpa ampun.
Ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi, pesan dari Brian, rekannya di kantor.
Brian: "Viona, deadline artikel besok ya. Cari sudut pandang fresh, ini untuk rubrik khusus."
Viona menghela napas, membuka laptopnya. Artikel tentang perkembangan industri media itu harus segera selesai.
Pekerjaan selalu berhasil menyibukkan, tapi perasaan itu, yang mengganggu di sudut-sudut hatinya, tetap sulit untuk diabaikan.
Ponselnya kembali berdering. Kali ini, notifikasi dari grup kantor.
Grup Redaksi: "Meeting nanti, siapin ide-ide terbaru."
Viona mengangkat bahu, menyandarkan tubuh di kursi, menyeruput kopi, dan menatap layar laptop yang kosong.
Hari-harinya selalu dipenuhi dengan deadline dan tekanan, dunia jurnalistik yang tak pernah tidur.
Seperti biasa, waktu berlalu begitu cepat. Ia bangkit dari kursinya, menyelesaikan rutinitas pagi dengan cepat.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Viona menatap ke luar jendela, menyaksikan kota yang mulai sibuk dengan kehidupan yang tak pernah berhenti.
Tanpa banyak berpikir, ia mengambil kunci mobil dan berjalan keluar menuju mobilnya.
***
Sesampainya di kantor, suasana seperti biasa: ramai dan penuh aktivitas.
Rekan-rekan kerjanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Viona melangkah cepat menuju mejanya, meletakkan tas, dan membuka komputernya.
Dari kejauhan, ia melihat Brian duduk di pantry, tampak termenung, seperti ada sesuatu yang sedang ia pikirkan.
"Hei, Brian," sapa Viona, mencoba mencairkan suasana.
"Pagi banget lo datang, udah nyiapin ide untuk rubrik?" tanya Brian, menoleh dengan senyum tipis.
"Masih ada beberapa poin yang harus gue rapihin," kata Viona, meraih sebatang pensil dan mulai mencatat.
Brian tersenyum sedikit. "Lo butuh ide segar, ya?"
Viona tertawa kecil. "Iya, jangan-jangan lo udah punya ide cemerlang buat gue."
Brian tersenyum lagi sebelum kembali memfokuskan perhatian pada ponselnya.
Viona pun duduk di mejanya, menatap layar komputer yang kosong. Pekerjaan menunggu, namun pikirannya masih terperangkap dalam bayangan Arya.
***
Beberapa jam kemudian, suasana kantor tetap sibuk dengan suara ketikan keyboard dan diskusi kecil di sekitar meja.
Viona melangkah cepat menuju ruang rapat. Begitu sampai, dia langsung membuka laptop dan menyalakan proyektor.
Pak Anton, pimpinan redaksi, mulai rapat dengan serius.
"Baik, semua. Kita hari ini akan fokus pada persiapan laporan minggu depan. Ide-ide terbaru yang kita kumpulkan sangat penting untuk memastikan laporan ini relevan dan mengena dengan pembaca," kata Pak Anton, menatap layar proyektor.
Viona mendengarkan dengan seksama, mencoba menangkap setiap poin yang dibahas.
Namun, sekali lagi, pikirannya melayang. Pikiran tentang Arya, tentang perasaan yang belum bisa ia pahami.
Ketika Pak Anton melanjutkan, matanya bertemu dengan Brian yang duduk di sebelahnya. Brian menatapnya, memberikan senyum kecil seakan memberi semangat.
"Viona," kata Pak Anton, memanggil perhatian.
"Kita butuh sudut pandang yang segar untuk laporan ini. Fokus kita harus pada sisi manusiawi, bukan sekadar statistik atau angka."
Viona mengangguk, menatap layar laptopnya sejenak.
"Saya pikir kita bisa fokus pada perubahan sosial yang dibawa oleh perkembangan media. Misalnya, dampaknya terhadap orang-orang di balik layar jurnalis, pembaca, dan masyarakat umum. Ini bisa lebih menggugah dan relatable."
Brian yang mendengarkan dengan seksama tersenyum dan menambahkan,
"Betul, kita bisa angkat cerita-cerita personal. Bukan hanya tren atau analisis industri, tapi lebih ke bagaimana perubahan itu memengaruhi kehidupan nyata."
Pak Anton mengangguk, menyetujui. "Tepat sekali. Itu yang kita butuhkan. Gali lebih dalam, jangan takut keluar dari zona nyaman."
Viona kembali menatap layar laptopnya, mencoba untuk meresapi diskusi ini, meskipun perasaan itu masih mengganggu.