Suara hujan tipis mengetuk pelan jendela apartemen, seperti serangkaian bisikan kecil yang tidak mau terburu-buru.
Tirai tipis melambai malas, terbawa hembusan angin pagi yang masih enggan mengucapkan selamat datang.
Viona membuka matanya perlahan, menatap langit abu-abu yang membungkus seluruh kota.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, tidak ada alarm berdering, tidak ada pesan bertubi-tubi dari grup kantor, tidak ada daftar tugas yang siap menindihnya sejak mata terbuka.
Hari ini... libur kerja.
Ia menghela napas panjang, membiarkan tubuhnya tetap setengah terkubur di balik selimut.
Semesta seolah memberinya izin untuk menjadi malas hari ini, dan ia berniat memanfaatkan izin itu sebaik-baiknya.
Pikirannya masih kusut—sisa dari minggu lalu yang penuh liputan berlapis-lapis, rapat redaksi yang entah kenapa selalu lebih panjang dari yang diperlukan, berita-berita berat yang harus ia susun seolah dunia bergantung pada diksi yang sempurna.
Jujur saja, dia butuh rehat. Bukan cuti panjang atau liburan mahal. Cuma... sehari untuk bernapas.
Viona berguling malas dari tempat tidur, menuju dapur sambil menggosok matanya.
Ia menyeduh kopi, membiarkan aroma pahit itu memenuhi ruangan kecilnya, seakan mengusir sisa-sisa kabut dari dalam kepalanya.
Di meja makan, ia membuka laptop—refleks belaka—hanya untuk menatap notifikasi kerja yang langsung membuat kepalanya berdenyut lagi.
Dengan satu klik tegas, dia menutup laptop itu.
"Not today," batinnya.
Kopi hangat di tangan, ia berdiri di depan jendela. Kota di luar tampak seperti lukisan cat air yang setengah luntur—abu-abu, sendu, tapi entah kenapa terasa... damai.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa seperti seribu tahun, Viona tidak merasa dikejar apa-apa.
"Kayaknya gue butuh keluar," gumamnya, menyeruput kopinya.
Bukan untuk sesuatu yang penting. Bukan buat tugas atau keperluan mendesak.
Cuma... keluar. Melihat dunia. Menyentuh kehidupan nyata di luar layar dan rapat Zoom.
Ia mandi, berdandan sekadarnya—jeans, sweater, jaket tipis. Mengambil tote bag dan secarik daftar belanjaan yang ditulis semalam dalam keadaan setengah ngantuk.
Setelah sarapan ala kadarnya (roti panggang gosong dan sepotong apel), ia turun ke basement, masuk ke mobil, dan meluncur perlahan di jalanan yang basah.
***
Supermarket pusat kota masih sepi. Viona mendorong troli menyusuri lorong-lorong, mengambil sabun, tisu, cemilan, dan—karena merasa pantas—sebatang cokelat mahal.
Biasa aja sih. Tapi ada sesuatu yang nyaman dalam kebiasaan kecil ini. Seperti memungut serpihan hidupnya sendiri satu per satu.
Setelah belanjaan masuk bagasi, Viona bukannya langsung pulang.
Tangannya memutar setir ke arah kawasan ruko yang berjajar rapi, hampir tanpa tujuan.
Dan di situlah dia melihatnya.
Toko kecil dengan jendela kayu dan papan nama sederhana:
Sajak Kenangan
Toko Buku & Pernak-pernik Homemade
Tentu saja dia turun. Tentu saja dia masuk. Semesta jarang menawarkan keajaiban seperti ini dua kali.
Begitu pintu berderit terbuka, aroma buku lama, kayu hangat, dan lavender menyambutnya—seperti pelukan dari masa lalu yang lembut dan sedikit berdebu.
Rak-rak buku di sisi kanan, kerajinan tangan di sisi kiri. Tempat ini terasa... hidup.