Suasana pagi itu cukup ramai. Matahari belum terlalu tinggi, namun orang-orang sudah sibuk mempersiapkan acara seni budaya di lapangan kota.
Stan-stan kecil berdiri rapat, bendera warna-warni berkibar tertiup angin, dan aroma makanan khas mulai tercium dari sudut tenda kuliner.
Viona dan Brian baru saja turun dari mobil kantor redaksi. Brian, dengan kameranya yang menggantung di leher, Viona membawa tas jinjing berisi catatan dan alat rekam.
"Lo ambil visual dari sisi kanan, gue coba ngobrol sama panitia dulu," ujar Viona sambil membuka buku catatannya.
Brian mengangguk.
"Sip. Gue cari angle yang dapet suasana pembuka dulu."
Viona melangkah perlahan menyusuri area acara.
Sambil menunggu panitia yang masih repot, ia sesekali mencatat di buku kecilnya, matanya aktif mengamati jalannya persiapan.
Beberapa kali ia merekam suara keramaian atau mencatat poin penting lewat ponsel, semuanya untuk bahan laporan nanti.
Ia berhenti di bawah pohon rindang. Pandangannya kosong sejenak.
Bukan karena lelah, tapi pikirannya melayang ke hari kemarin—ke percakapan bersama Arya.
Suara Arya, ekspresinya saat menyebut nama itu—Nadia. Semua masih terngiang. Ada yang belum selesai dalam dirinya.
Luka yang belum kering, tapi juga tak ingin disembuhkan.
"Vi, lo kenapa? Ngantuk ya?" Suara Brian membuyarkan lamunannya.
Viona cepat mengalihkan pandangan.
"Hah? Nggak... cuma kepikiran transkrip wawancara kemarin. Takut ada yang ke-skip."
Brian mengangguk pelan.
"Kalau lo butuh bantuan, tinggal bilang. Gue bantu, kok."
Viona tersenyum kecil. "Iya, makasih."
Brian menatap Viona sejenak. Sorot matanya menyimpan kekhawatiran—tulus dan gak dibuat-buat.
Ia tak banyak bicara, tapi sikapnya jelas—dia peduli, bukan cuma sebagai rekan kerja.
Namun Viona masih belum siap membuka pintu hatinya.
Masih ada tembok tinggi yang berdiri rapi antara perasaannya dan dunia luar.
***
Setelah cukup lama meliput, mereka duduk di kursi panjang di dekat sana.
Siang makin panas. Viona tetap sibuk mencatat di notes kecilnya, sementara Brian menggulung lengan kemejanya yang sedikit basah karena keringat.
"Kayaknya kita butuh es teh jumbo deh," celetuk Brian sambil ngibas-ngibas kerah bajunya.
Viona nyengir kecil.
"Ntar aja, selesain dulu. Lo liat gak tadi ekspresi ketua panitia pas gue tanya soal anggaran?"
Brian ketawa. "Gue rekam juga. Mukanya langsung kaku, kayak abis liat mantan bawa undangan nikah."
Mereka berdua tertawa pelan. Tapi Viona kembali diam. Pandangannya menerawang ke arah jalan kecil yang lengang.
Angin lewat pelan, membawa debu tipis bersamaan dengan kenangan yang belum selesai.
Brian menoleh. "Lo kenapa lagi, Vi?"
Viona menggeleng pelan, senyum tipis.