VIONA: Di Antara Dua Cerita

Anoi Syahputra
Chapter #7

Cerita Di Luar Cerita

Papan nama toko itu terbuat dari kayu jati yang sudah pudar, dengan ukiran halus yang hampir hilang tertelan waktu: Sajak Kenangan - Toko Buku & Pernak-pernik Homemade.

Viona berdiri di depan pintu kaca, menatapnya sebentar, sebelum merogoh tas selempangnya. Dia menarik keluar memo kecil yang ada di dalamnya dan membacanya lagi.

Judul liputan minggu ini: Usaha Lokal yang Bertahan di Tengah Gempuran Digitalisasi.

Target: toko independen yang nggak cuma jualan, tapi juga jadi tempat yang memelihara hubungan antara orang-orang, karya mereka, dan komunitas di sekitarnya.

Viona menghela napas dan melihat Brian, yang sedang berdiri di sampingnya.

"Kita sudah janjian sebelumnya," Viona mengingatkan.

"Konsep tokonya beda dari yang lain. Editor minta cari usaha lokal yang masih eksis, yang punya cerita dan dampak ke sekitar. Toko ini termasuk dalam shortlist."

Brian mengangguk pelan, matanya berpindah-pindah dari papan nama ke pintu toko.

"Punya cerita, ya?" Ia menatap Viona, alis sedikit naik, seakan ragu.

"Ya. Pemiliknya teman SMA gue," jawab Viona, datar.

"Oh," Brian membiarkan kata itu menggantung di udara, dan ada sesuatu di ekspresinya yang sedikit berubah. Sebentar. Tidak banyak, tapi cukup untuk membuat Viona merasa ada yang tak biasa.

Viona menoleh dan mendorong pintu kaca. Suara lonceng kecil di atas pintu yang berdenting begitu familiar.

Udara di dalam toko terasa berbeda, seperti pelukan hangat yang menyambut.

Kopi, kayu manis, dan aroma kertas bekas bercampur. Tempat ini terasa nyaman—ada kehangatan yang tidak bisa diciptakan oleh mesin.

Brian mengikutinya ke dalam, kamera tergantung di lehernya. Viona melirik sekilas ke sekitar. Rak buku menjulang tinggi, sementara di sudut dekat jendela ada bean bag dan lampu gantung kuning yang hangat.

Etalase kaca memamerkan pernak-pernik buatan tangan yang terasa penuh cerita.

"Selamat pagi, Viona," Ibu Arya menyapa dari balik meja kasir, senyumnya tulus, meskipun matanya tidak pernah berhenti memeriksa daftar stok.

"Pagi juga, Tante," jawab Viona sambil mengangguk ringan, berusaha menunjukkan sikap profesional meski ada perasaan yang mengganjal di dada.

Tak lama kemudian, Arya muncul dari balik pintu kayu yang mengarah ke ruangan belakang.

Lengan kemejanya digulung dengan santai, apron lusuh tergantung di pinggangnya, seakan segala sesuatu tentang dirinya ingin berbicara tanpa perlu kata-kata.

"Hai," sapanya, singkat, namun terdengar jujur.

"Hai, Arya," balas Viona, sedikit terhenti. Suaranya sempat terdengar lebih berat, sebelum akhirnya berubah menjadi lebih netral, seperti yang biasa ia lakukan saat bertemu seseorang yang dulu dekat, tapi kini terasa asing.

"Siap, kita mulai aja?" Viona melanjutkan, berusaha menjaga jarak profesional.

Arya mengangguk, lalu dengan tenang menunjuk ke sudut meja kecil dekat jendela.

"Duduk di sana aja."

Mereka duduk. Viona membuka buku catatan, menyalakan perekam suara, sementara Brian sudah mulai sibuk dengan kameranya, bergerak perlahan di sekitar ruangan.

"Jadi tema liputan kita tentang usaha lokal yang bisa bertahan meskipun dunia bergerak cepat ke arah digital," kata Viona, matanya tetap pada layar perekam.

"Toko ini menarik. Tampak sederhana dari luar, tapi punya pasar loyal. Ada keunikannya."

Arya duduk tenang di seberang meja, menyilangkan tangan di atasnya.

Tatapannya sedikit melamun, seolah merenungkan kembali perjalanan panjang yang membawanya ke titik ini.

"Nggak muluk-muluk," kata Arya setelah beberapa detik.

"Gue cuma pengen bikin tempat di mana orang-orang bisa berhenti sejenak, baca, dan merasa nyaman. Itu aja."

Brian masih sibuk dengan kameranya, tapi matanya sesekali melirik ke arah mereka, menyelidiki lebih dalam dari sekadar foto.

"Sentuhan personalnya terasa," kata Viona pelan, suara yang hampir tak terdengar, lebih kepada dirinya sendiri.

Matanya melintasi rak buku dan pernak-pernik di sekeliling mereka.

Lihat selengkapnya