Sepanjang siang, Viona mencoba untuk tetap sibuk. Menyusun caption untuk konten lain, menyelesaikan draft artikel mingguan, bahkan membantu rekan konten dengan skrip singkat video Reels.
Tapi tetap saja, pikirannya terus berkelana pada dua hal: email dari Arya dan ketidakhadiran Brian.
Biasanya, jika Brian telat, pasti ada pemberitahuan di grup redaksi. Tapi hari ini, sepi.
Hening. Seolah dia sengaja menghilang.
Entah kenapa, Viona merasa bersalah, meskipun dia sendiri tidak mengerti apa yang salah.
Menjelang sore, layar laptopnya berubah, muncul reminder kalender: Wrap-up meeting redaksi, 16.00.
Dan itu artinya, dia akan berada satu ruangan dengan tim—dan kemungkinan, Brian.
Viona berdiri, merapikan rambut seadanya, lalu mengambil air putih. Baru beberapa langkah menuju ruang meeting, pintu lift di ujung lorong terbuka.
Brian keluar. Tenang. Tidak terburu-buru, tapi juga tanpa senyum seperti biasanya.
Mereka saling pandang sejenak. Tidak ada sapa, tidak ada anggukan. Cukup untuk membuat langkah Viona mendadak canggung. Dan cukup untuk membuat dadanya terasa berat.
Di ruang meeting, suasana cair seperti biasa. Beberapa bercanda tentang liputan yang baru diunggah. Tapi sepanjang rapat, Brian hanya bicara seperlunya.
Fokus pada progress tim, data engagement, dan rencana minggu depan.
Hingga akhirnya...
"Untuk follow-up konten toko buku kemarin, kita akan kirim satu tim buat liputan lanjutan."
"Arya bersedia wawancara khusus soal pengelolaan independen dan program komunitas mereka," ujar editor konten.
Brian menatap layar, kemudian geser pandangannya ke Viona.
"Viona sama Dita yang turun lagi," ucapnya datar.
Viona spontan menoleh. Biasanya, mereka berdua yang turun—selalu. Tapi kali ini, nama Brian tidak disebut. Dan dia sendiri yang memilih.
Viona menahan diri agar tidak bereaksi. Tapi ia tahu, satu keputusan kecil ini... bukan hanya tentang kerja. Ini adalah pesan diam-diam yang dikirim tanpa perlu dijelaskan.
Setelah rapat selesai, Viona beranjak paling akhir. Brian masih di ruangan, pura-pura sibuk memeriksa ulang data di laptop.
Begitu Viona hendak keluar, Brian tiba-tiba berbicara tanpa menoleh.
"Good luck buat liputan besok."
Suaranya datar, tapi ada sesuatu yang tertahan di baliknya. Viona berbalik, ingin menjawab. Tapi lidahnya kelu.
Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan, lalu pergi.
***
Malam itu, di kamarnya sendiri, Viona membuka email dari Arya sekali lagi.
Ada dua draft balasan yang sudah ia tulis. Satu bilang, “Maaf, gue nggak bisa datang.” Satunya lagi... kosong. Hanya cursor yang berkedip.
Dan untuk pertama kalinya, Viona merasa bukan hanya Brian yang sedang mengambil jarak.
Tapi dia juga mulai merasa, hatinya sedang bergerak ke arah yang tidak pernah ia rencanakan.