Jika bumi bergeser secara fisik dari porosnya, apa yang akan terjadi?
“Kamu bisa mengontrol mimpi kalau kamu mau. Mimpi bisa kau jadikan sebagai sugesti kalau keberadaanmu memang ada. Jika keberadaanmu memang terasa dan mewujud, jangan sia-siakan harapan ayahmu ini. Jangan banyak main, jangan pedulikan omongan orang lain. Jadikan sindiran mereka sebagai cambuk buatmu untuk focus ke mata pelajaran. Jangan sampai nilai kamu buruk hanya karena kamu menyukai cowok—”
“Sudah sampai Yah, Yas berangkat dulu! Salam!”
Klap! Pintu mobil terbuka dan seorang gadis keluar dari sana. Mobil terpaksa berhenti agar gadis yang meloncat begitu saja itu tidak terjatuh.
“Dasar!”
Yasha melambaikan tangannya ke arah mobil yang mulai melaju pergi. Dengan senyum sembilan puluh persen, Yasha berjalan menyusuri koridor mencari kelas barunya. Gedung baru yang punya fasilitas lengkap dan dikatakan sebagai sekolah favorit. Yasha melirik seorang anak perempuan dengan ikat rambut cepol yang tengah berhadapan dengan sebuah pohon dadap cangkring. Anak itu tampak mengamati sesuatu.
Namun, Yasha mengedikkan bahu. Dirinya sudah sering melihat anak berperilaku aneh. Jadi, kemungkinan di sekolah favorit pun akan banyak siswa aneh atau nakal. Yasha tidak peduli dan tidak ingin berurusan dengan hal itu.
“Ayah pernah bilang kalau aku bisa bawa pisau jika ada yang mengganggu,” gumam Yasha saat menemukan kelas yang dicarinya.
Yasha berhenti sebentar tepat di pintu dan berdoa sesuai dengan ritual yang biasa dilakukannya. Doa-doa kecil yang diajarkan paman semasa sekolah dasar. Tidak terlalu penting, tetapi Yasha selalu merasa perlu melakukannya seperti orang bodoh.
"Eh!"
Yasha terhenyak setelah masuk beberapa langkah. Ada seorang anak laki-laki yang duduk di bangku paling belakang dengan laptop menyala. Namun, jelas-jelas pandangan matanya tertuju pada Yasha yang baru masuk.
“Hai!” sapanya dengan sedikit kikuk.
“…” Yasha hanya bisa mengangguk.