“Makan apa saja yang penting halal, Insya Allah berkah.” Kata-kata Ibu saat makan malam bersama, membuat seisi persendianku terasa sangat ngilu.
Aku hanya diam sampai makanan di piringku habis tak bersisa, kemudian membantu Ibu membereskan perkakas bekas makan dan mencucinya dengan segera. Jika tidak langsung dibersihkan maka akan menjadi tempat bermain tikus-tikus hitam.
Sesampainya di dalam kamar, aku menarik nafas panjang, seraya menimbang-nimbang apakah keputusan ini benar-benar langkah terbaik dari yang terburuk dalam hidupku.
Setelah menatap layar beberapa saat, akhirnya kusimpan ponsel ini di bawah bantal, kemudian berusaha keras untuk bisa memejamkan mata, meski hasilnya nihil.
Waktu bahkan sudah menunjukkan pukul dua dini hari, namun dalam kedua mata yang kupaksa mengantup ini, ada dua sisi hati berdebat hebat, sahut - menyahut di dalam dada. Sayup - sayup kudengar Bapak sedang mengaji di kamarnya. Langkah ini begitu tak tertahankan untuk mendekati sumber suara di kamar mereka.
Perlahan-lahan, jemari ini menyingkap sedikit kelambu usang di kamar orang tuaku, nampak ibuku yang sedang sholat malam dan tidak jauh dari itu, bapak yang sedang mengaji. Seketika rasa bersalah menyergap teramat dalam bagiku, tentu saja karena aku sering memberikan penghasilan kotor pada mereka.
***
Keesokan harinya, kubulatkan tekad untuk mengundurkan diri dari panti pijat milik keluarga Nita. Banyak yang terkejut, namun tak dipungkiri banyak juga yang merasa senang karena saingan berkurang.
Rata-rata mereka menuduhku menjadi simpanan Om Sandi, istilahnya jadi sugar baby. Terserah saja apa yang mereka pikirkan tentang hidupku dan sejauh ini minat untuk menjajakan kenikmatan lendir bukanlah passionku.
Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya aku memiliki pasport. Buku kecil bersampul hijau itu sangat dibutuhkan guna menunjang profesi kotorku berikutnya.
“Ini barang yang harus kau antar ke Sabah, ada rekanmu menunggu di sana. Jangan mencolok dan berbaurlah, hm?” Om Sandi menatap kedua iris mataku dalam-dalam. Dia sedang meyakinkan bahwa aku mampu menamatkan pekerjaan ini.
“Hanya ini, Om?” tanyaku.
“Paket ini nilainya milyaran. Kau akan sulit memercayai siapapun, di manapun dengan barang semahal ini. Jagalah sepenuh jiwa dan raga, bahkan nyawamu.”
Aku mengangguk, dengan tangan bergetar kuterima bungkusan berbalut lakban warna coklat tersebut. Tidak terlalu berat, namun juga tak ringan. Benda apapun di dalamnya pasti begitu istimewa setidaknya bagi siapa saja yang sudah memesannya.
Selanjutnya adalah tahapan paling berat yang harus kulalui, meminta izin pada ibu dan juga bapakku untuk pergi beberapa lama.