Ponsel milik Ratih akhirnya disita oleh aparat dan dia dijebloskan ke tahanan bersama para penghuni wanita yang lain di blok C. Ukuran sel yang ditempati oleh Ratih bersama para penghuni memang tak terlalu besar, hanya tiga kali tiga meter, dengan pintu dan jendela yang disusun dengan teralis besi guna memudahkan pengawasan.
Ratih masih belum sepenuhnya yakin dan percaya bahwa dirinya akan mengalami nasib sial, tertangkap saat menjalankan tugas. Sebelumnya dia pernah mendengar nasehat dari seseorang bahwa dalam pekerjaan itu tak ada yang benar-benar bisa dipercaya satu orang pun.
Ingatan Ratih tertuju pada Om Sandi dan Ibra, dua laki-laki yang selalu dinilai sempurna tanpa cela. Om Sandi yang memberinya segala hal kemewahan dan kesenangan selama ini, merubah kehidupan keluarganya serta mengajarkan banyak hal, ternyata menghilang saat Ratih benar-benar membutuhkan bantuan.
Ibra, laki-laki yang telah mengenalkan pada arti cinta yang sesungguhnya. Merasakan indahnya kepak sayap kupu-kupu merah jambu dan merasakan tajuk-tajuk kecoklatan, juga hasrat yang begitu membara, kini pergi tanpa tahu rimbanya.
“Kamu akan terbiasa di sini, siapa namamu?” tanya seorang penghuni yang usianya lebih tua.
“Ratih atau iblis, apapun terserah saja mau dipanggil apa, setan juga boleh.” Ratih meluruhkan tubuhnya sambil bersandar di dinding.
“Hidup memang tak pernah adil bagi kita, para wanita. Jika hanya diam, maka harga diri menjadi taruhan. Jadi korban penindasan, kemiskinan, ruda paksa, mati merana. Hidup, ya, begitulah, Ratih.”
“Haruskah saya menyesal telah dilahirkan sebagai seorang wanita, menjalani takdir seperti ini bukan keinginan melainkan pilihan. Hanya diam dengan harga diri yang semakin terbenam, atau melakukan sesuatu, kemudian mati sebagai seorang pejuang.”
“Kamu pejuang? Apa yang sedang kamu perjuangkan?” Wanita bernama Martha itu tertawa kecil sambil mengawang.
Ratih tak menjawab dan memilih diam. Kedua matanya terpejam sambil mengingat-ingat sesuatu, sekiranya seseorang yang bisa membantu dirinya. Disaat yang sama, Om Sandi berpikir, situasi sudah aman terkendali saat Ratih berhasil masuk dalam perangkapnya. Sidik jari dan beberapa helai rambut Ratih ditemukan dalam kamar hotel tempat banyak barang bukti sengaja diumpankan.
Ratih benar-benar dalam masalah besar karena hal ini belum pernah ia pikirkan sebelumnya.
Diam-diam Om Sandi bergerak meninggalkan tempat persembunyiannya menuju ke pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Dia sudah menyiapkan pelariannya dengan menghubungi relasi untuk bisa menumpang pada kapal barang menuju ke luar pulau.
Hanya saja dia tidak bisa mengelabui aparat yang bergeming dari lokasi persembunyian. Mobil yang sudah beberapa waktu terparkir tidak jauh dari tempat itu akhirnya bergerak membuntuti sampai tiba pada jalanan cukup lengang.
Om Sandi curiga saat ada mobil warna hitam semakin mendekati kendaraannya dan dalam waktu singkat, mobil itu sudah melintang menutup jalanan di depan. Jemari Om Sandi mencengkeram erat kemudi tanpa gentar. Saat melihat dua orang berjaket hitam turun dari mobil, barulah ia sadar bahwa bahaya sedang berada di hadapannya.
Sekuat tenaga Om Sandi menginjak pedal gas dan berjalan mundur, namun aparat melepaskan tembakan peringatan. Suara letupan senjata api terdengar menggelegar melepaskan asap putih membumbung ke atas.
Om Sandi terus saja bergerak mundur dan memaksa maju menabrakkan diri pada mobil yang melintang di tengah jalan. Dia sangat takut jika sampai tertangkap karena sudah pasti akan menghadapi tuntutan yang sangat berat.