Aku baru akan merapatkan selimutku ketika seseorang mengetuk pintu. Awalnya aku berniat mengabaikannya, namun ketika ingat hari sedang hujan deras, aku bangun juga dan berlari kecil ke arah pintu. Dengan cepat aku membuka pintu dan menemukan seorang wanita paru baya kurus namun cantik berdiri di depan pintu menggandeng seorang anak perempuan. Di sebelah tangannya yang gemetar, ia memegang secarik kertas alamat yang agak basah. Separuh dari jaket wanita itu agaknya telah basah, dan dibelakang mereka tersampir sebuah payung. Ia terlihat kaget dan ragu ketika melihatku, seperti menyesal telah datang namun aku sudah terlanjur ada di hadapannya.
“A..ada yang bisa kubantu nyonya?” Ia seperti akan mengatakan sesuatu, namun mengaatupkan bibir lagi. Anak perempuan di sampingnya memeluk pinggang wanita itu, ia menyembunyikan wajahnya. Lalu tiba tiba anak itu bersin. Aku baru sadar mereka kedinginan, dan mungkin memerlukan pertolongan. Aku segera mempersilakan mereka masuk. Mereka ragu, namun wanita itu kemudian mengucapkan terimakasih dan mengikutiku masuk.
Sofa sederhana di pojok ruangan sepertinya tak cukup hangat untuk dua orang yang menggigil itu, jadi aku mengambilkan handuk dan selimut untuk mereka. Lagi-lagi wanita itu mengucap terimakasih. Anak perempuan tadi masih menyembunyikan wajahnya di samping ibunya.
“Ah! Ya, lebih baik aku mengambilkan teh hangat untuk kalian. Tunggu sebentar.” Namun sebelum aku bangkit dan pergi, wanita itu bicara.
“Ah, tidak. Tidak. Jika aku lebih lama bersama Noma, mereka akan menemukanku.” Katanya dengan logat cukup aneh, namun masih bisa kupahami. Ia sepertinya sedikit kaget dan menyadari bahwa Ia belum menjelaskan maksud kedatangannya dengan jelas.
Aku mengerutkan alis, menelisik.
“Maaf aku belum memperkenalkan diri, Jarra. Aku..Seta Hanami.” Mendengar orang asing mengucapkan namaku rasanya cukup mengejutkan, ia tahu namaku. Tapi lebih mengejutkan lagi, bahwa ia adalah Seta Hanami.
“Aku baru saja tiba dari bandara. Ceritanya panjang, namun aku butuh bantuanmu Jarra. Kumohon, to..”
“Seta…Hanami? Istri dari Joan Mocktensilk?” Kataku sambil membelalakan mata tak percaya. Segala macam perasaan tumpah dalam benakku. Hal-hal yang ingin kulupakan seketika naik ke permukaan.
“Ya” katanya sepelan mungkin hampir berbisik. Mungkin karena malu, atau takut menyakitiku.