Suara lantunan surat An-Nahl mulai bergema menjelang azan Zuhur. Setiap lima kali dalam sehari, kalam Ilahi diputar. Tak diketahui siapa yang membacakan ayat-ayat agung dengan indahnya. Sepuluh menit kemudian berganti menjadi azan. Tartil Alquran berhenti seketika.
Rena jengkel setiap dia menyimak, bacaan itu terpotong begitu saja. Berulang-ulang begitu, padahal Rena lebih suka bacaan diteruskan. Nilai lebihnya, Rena hafal ayat-ayat pertama An-Nahl. Saban hari Rena mendengar. Meresapi setiap kata agung itu dan merindukan bacaan berikutnya yang tak pernah muncul.
Namun, jiwa Rena kosong melompong. Seorang ayah diktator atas nama agama, ibu yang lugu dan kakak yang cuek bebek ada dalam hidup Rena, mengungkung kedamaian yang tak mudah direngkuh. Berbagai masalah di masa silam sudah menginjak ketenangan. Keluarga yang menjadi pendidikan pertama, tak mudah dicapai.
Sejak lahir, Rena tak menemukannya. Sebab tak ada peran teladan yang bisa dibanggakan.
Dunia Rena sepi senyap. Tanpa bimbingan. Tanpa dekapan. Tanpa pula penuh syukur. Rena tumbuh dalam dunia kapitalis liberalis. Agama menjadi pilihan, bukan kewajiban. Ideologi 'sekarepe dewe' tercipta dalam inti sari hidup. Tak urung prahara demi prahara berlangsung dalam sebuah rumah. Bukan salah Rena pula memiliki tingkat keegoisan super tinggi, jika seluruh anggota sama kerasnya menyampaikan argumen.
Nyaris segala keinginan tak bisa Rena dapatkan. Rena harus berteriak marah, mengobrak-abrik barang jika tuntutan harus segera dipenuhi. Sesekali di kamarnya, Rena tertawa. Apa dia sinting? Bisa jadi. Sebab Rena sedang mengevaluasi hasil aktingnya usai meledak seheboh letusan Gunung Raung.
Selama dua puluh tiga tahun ini, Rena belum pernah merasakan yang namanya kabur dari rumah. Orang tuanya meleleh kalau tetangga sudah dengar amukan Rena menembus kampung. Dia sengaja curhat ke saudara yang merembet sana-sini. Gunjingan demi gunjingan jelas membuat orang tua Rena marah. Malu teramat jelas. Dengan mudah Rena mendapat uang, ponsel, ataupun laptop yang diidamkan.
Tapi tak semudah itu pula, kalau Rena tak dapat beasiswa rangking satu–minimal tiga besar–jangan meminta macam-macam. Dan yang paling membuat Rena gampang meledak kesetanan, Rena harus bersabar menghadapi taktik politikus berpeci macam ayahnya yang tukang ingkar janji.
Suara pintu kamar dibanting nyaring. Dengan cepat Rena mengunci pintu. Tangannya menggapai penyuara jemala, ditekannya tombol volume up. Rena mendengar musik keras-keras. Belum cukup memblokir pendengaran dari luar, Rena menumpuk guling ke kepalanya. Makian ayahnya masih kencang, sampai pintu bergetar.
Hanya karena belum salat subuh sebelumnya, Rena harus menghadapi ceramah panjang lengkap omelan salah sasaran sang ayah. Rena jengah menjadi pendengar segala 'dobos' sang Ayah. Dia muak bertemu dengan orang yang paling dibenci setelah ibunya. Dia benci siapa pun dalam rumah itu. Dia juga benci lahir dari keluarga yang kacau balau.
"Rena...!"
Ayahnya belum menyerah. Geram setengah mati, sebab Rena masih molor sampai jam sebelas siang. Inilah efek semalam begadang penuh. Setelah rumah hening, Rena menghela napas. Lega akhirnya dan kembali tenang. Betapa takutnya Rena jika sang ayah sudah mulai memukul. Tak tanggung-tanggung, panasnya tamparan dari ayah Rena masih lekat di pipi Rena. Dulu sekali, Rena merasakan pukulan itu. Dan itu menyisakan sebuah trauma besar.
Jantung Rena nyaris rompol. Ditekan dadanya, berharap surut seperti semula. Istirahatnya terganggu. Tangan Rena gemetar menekan layar ponsel. Dia mengetik sesuatu, pikirannya kalang kabut. Badannya semakin ngilu gara-gara masuk angin.
Rena memperbarui status di Facebook. Menyampaikan isi hatinya yang kesal luar biasa. Namun, tak terang-terangan, sebab dia takut saudara yang lain tahu apa yang terjadi. Dia malas menghadapi segala mulut berbisa para saudaranya soal cek-cok tak berkesudahan dengan ayah Rena.
Badan Rena bergerak turun dari kasur. Dia mengambil dompet di lemari dan mengeceknya, masih menyimpan dua lembar parang Pattimura menghunus ke atas. Namun, di ATM-nya, ada dana tabungan dua juta.