Satu...
Dua...
Tiga...
Entah berapa kali Dea menarik napas. Dadanya berdebar kencang. Dia masih di Bandara Adi Sucipto dan duduk di bangku tunggu. Dia tak sedang menunggu jemputan. Gadis itu berangkat tanpa rencana. Tak ada pemberitahuan kepada kenalan Dea yang masih tinggal di Jogjakarta. Hanya ransel berisi laptop dan tablet yang dibawa serta dompet.
Di pulau ini dia enggan kembali. Masa silamnya kembali menyerang Dea. Perih menyiksa batin. Di mana pun kaki Dea berpijak, tak pernah jauh bayangan itu terus mengikis setiap kebahagiaan yang ingin dimiliki Dea. Hampir setengah tahun Dea tinggal di Kutai, tinggal bersama ayah dan kedua adik yang masih sekolah.
Bukannya tenang, gadis itu semakin sesak untuk bernapas. Pria yang disebut 'papa' ingin menikah lagi. Sementara Dea tak senang dengan kehadiran sosok ibu tiri. Sering kali dia adu mulut dengan papanya perkara ini. Dea menjuluki dirinya sendiri sebagai Cinderella di rumahnya, jangan diperkeruh dengan sosok wanita pendamping papa yang baru. Dea tak pernah sudi jika adik-adiknya tinggal dengan ibu tiri.
Nyatanya, ini puncak kemarahan Dea. Ditinggalkan tempat bernaungnya di Kalimantan. Tempat dia melarikan diri dari Pulau Jawa yang merusak mimpi Dea. Tekanan tak bisa dia tanggung. Dea nekat ke Samarinda, kabur tengah malam lalu memutuskan pergi ke Jogjakarta untuk mengundi nasib. Dia lelah terkurung di rumah. Sibuk mengurus adiknya, sementara panggilan kerja tak kunjung menghampiri ponsel Dea.
Di sini lah dia kembali. Pikirannya melesatkan ke hari ke mana dia berpijak di bandara ini, di bangku yang sama. Persis sebelum dia pergi ke Jakarta.
Ah, kota itu.
Dea tak sanggup menyebut namanya. Dia mengerjapkan mata. Hampir setetes air mata lolos.
Tidak.
Hari ini tak ada nostalgia pria brengsek itu. Hari ini adalah perayaan kebebasannya dari rumah. Apalagi dia masih punya tugas mencari rumah indekos selama sebulan. Dia tak bisa menangisi kemalangan yang menderanya. Gadis ini lari dari pulau Jawa. Namun, kembali lagi dengan segudang masalah menjepit tulang syarafnya.
Jangan hari ini Dea menangis. Dia menggelengkan kepala. Ditepisnya bayangan buruk yang melanda. Kemudian Dea bangkit dari tempat duduknya. Dua jam naik pesawat dari Samarinda membuat Dea agak limbung. Suhu di Jogjakarta lebih sejuk dari pada di rumahnya.
Dea tersenyum. Dia menyapu seberkas air mata. Kemudian bangkit mencari taksi. Tuhan barangkali sedang memberi hiburan untuknya. Akan ada teman yang bakal datang untuk Dea. Gadis itu bernama Rena, gadis cerewet yang sama nekatnya kabur ke Jogjakarta.
Hampir-hampir Dea tertawa. Entah mengapa dia selalu klop dengan Rena. Selalu memiliki masalah yang hampir sama. Mengalami sesuatu yang serupa. Tak heran sepasang sahabat itu gampang memahami satu sama lain.