Interaksi. Definisi tertinggi manusia untuk bersosialisasi. Ruang antar batin manusia pun kadang mampu menyanggupinya. Tidak hanya dengan wicara, kata, ataupun suara. Mekanisme yang dibutuhkan manusia untuk menunjukkan eksistensi. Apakah dengan kata? Ya, hanya katalah yang mampu menyelami pemahaman manusia. Paham, pemahaman itu punya batas. Ruang tak terduga seperti waktu terkadang menjadi musabab atas pengilhaman kepahaman. Di situlah, paham menjadi sebuah kedinamisan. Dan interaksi, adalah wujud yang mengikuti. Sepasang mata pun sanggup mengalahkan bentuk interaksi stagnasi lainnya. Dengar matanya, baca hasil bidikan kameranya. Ya, itu menjadi satu-satunya jalan interaksi Ratih dengan putri kesayangannya. Anjani dengan kemampuan fotografi yang luar biasa. Kemampuan yang mendekati sempurna. Yang Ratih bahkan masih belajar untuk menginterpretasikannya. Berusaha memahami ekspresinya, kendati Ratih tahu bahwa mustahil ia berekspresi. Tapi ibu adalah ibu. Separuh darah Ratih berfusi di raganya.
Jemari Anjani menggenggam erat sesuatu. Dijentikkan olehnya jemari itu. Sorot mata Anjani mengikuti lembaran yang jatuh dari sela tangannya. Sebuah foto. Hanya sinar mata Anjani yang tahu, makna dari gambar itu.
“Seekor domba dengan kedua induknya?”, Ratih terkejut dengan hasil foto yang ia dapat. Seekor domba dengan kedua induknya saling berjajar di antara perdu. Tapi langit telah malam. Apalagi kali ini? Batin Ratih bergejolak. Tuhan, kumohon jangan sekarang. Ratih menatap bingkai mata Anjani. Raut ketidak setujuan hadir di sana. Ratih hanya ingin sebuah keluarga sempurna. Ratih ingin mengubur dalam-dalam segala hal buruk dalam tragedi masa lalunya. Sepertinya ada yang salah, cinta yang tak pernah dapat kalah? Atau Ratih yang selalu menyerah? Semesta, dengan seluruh mekanismenya selalu benar. Hah, mengerikan.
***
“Ibu akan selalu di sini. Kamu selalu menjadi bagian dari rencana Ibu setiap hari. Ibu selalu menyimpan kisahmu Anjani.”, Ratih berusaha menenangkan hujan dari Anjani. Deras, namun begitu sunyi. Pernyataan-pernyataannya sungguh mengejutkan. Sepertinya, sedari dulu mereka selalu bersebrangan. Anjani menatap mata Ratih dalam-dalam. Mencari sebuah dusta. Celaka. Anjani menemukannya. Apa yang bisa Ratih lakukan di hadapan sebuah cinta? Menatap laki-laki itu yang punya sepasang mata lebih binar dari senja, membuat Ratih lupa, bagaimana seorang Ratih tidak jatuh cinta? Ratih merebut kertas yang digenggam oleh Anjani. Kau tadah luka. Tanpa pernah lupa mencabik kesekian kalinya. Rupa sebenarnya, atau sandiwara? Penuh sanggama. Ratih tercekat. Ratih bahkan lupa cara bernapas. Kalimat yang Anjani tulis, ibarat api, cukup satu percik minyak lagi. Api itu akan menguasai. Ya Tuhan, hingga waktu meranggas pun, Ratih tak pernah berniat bermuka dua. Tapi Ratih hanya manusia. Tempat ketidakadilan jika membahas ruang dalam rongga dada. Sebuah kedustaan jika Ratih mampu mengimbanginya.
“Anjani, di dunia yang penuh ketakutan untuk kecewa, Ibu selalu berusaha memperkuat jiwa, bukan menyangkal cinta. Karena dengan itu, Ibu bisa memahami kebisuan dan kebutaan cinta Ibu.”, Anjani menatap Ratih dengan air muka kecewa. Sambil terdiam Ratih menyimak raungan angin dan tangisan hujan. Semua tergambar nyata dalam lingkar mata Anjani. Ratih merenungi wajah Anjani sambil ia sibak rahasia air wajah putrinya. Ratih tahu jawabannya. Sebuah cinta. Dan ia beranjak dari kubangan air mata Ratih. Tahulah Ratih. Ternyata cinta, tak butuh banyak cerita.
***
Ratih terbangun kala malam masih menebar selimut di atap-atap rumah. Anjani lenyap. Entah luka yang menghabisi putrinya, atau Anjani yang berpihak pada egonya. Sebuah foto dan selembar poster lomba fotografi nasional. Ratih baca poster lomba itu. Ratih menggeleng kecewa. Kekhawatiran Ratih mematahkan egonya dengan cara yang mengesankan. Ratih menatap hasil bidikan itu, seorang pria dan wanita saling menggenggam tangan di stasiun kota. Di samping keduanya, ada remaja perempuan terduduk di bangku panjang dengan mata sendu. Langit sore menjadi latarnya. Di baliknya, terjerat sebuah sajak. Bersembunyi di balik senyum dan tawa. Banyak dari mereka yang juga menyembunyikan dosa. Sama-sama bersembunyi di balik rasa bersalah atas mereka. Anjani, ia yang terlihat diam. Masa lalu telah membuat ia bungkam. Anjani telah berhasil mencintai segalanya begitu dalam. Karena sebenarnya ada hal yang ingin diutarakan, namun memilih untuk dipendam.
***