Anjani membongkar isi lemarinya, ia mengambil sebuah album yang punya selaksa cerita sempurna. Foto yang Anjani ambil dengan kedua tangannya sendiri. Senyum yang berbaris rapi di tiap momen pengabadian itu. Waktu yang tak bisa hadir kembali. Memori yang menghantui. Hanya itu yang Anjani punya saat ini. Semua itu terlukis indah hanya dalam satu album foto, dalam genggamannya kini. Anjani membuka halaman terakhir, masih tersemat wangi bunga Hortensia biru favorit ibunya. Mahkotanya masih tertempel dengan rapi. Hati-hati ia mengambil parfum saku yang ia letakkan di kotak album itu. Ia menyemprot tiga kali. Rutinitas yang ia jalani setiap pagi. Aneh memang, sejak kapan Hortensia memiliki wangi? Apalagi vanili, tapi itu rutinitas yang spontanitas tanpa dikte, ia lakukan setiap hari. Anjani memandangi lagi 15 mahkota Hortensia biru itu, andai semua masih sama. Jika saja semesta masih memberi Anjani kesempatan kedua. Mungkin sekarang ia sedang memegang secangkir jahe merah yang ia letakkan di meja pekarangan Hortensia milik ibunya. Sambil menatap ibu, menyirami satu per satu. Seolah bunga-bunga itu berbicara. Seolah bunga-bunga itu putri semata wayang ibunya. Lalu, setiap pukul enam pagi, Anjani akan berkeliling mengecek pH tanah, melihat satu per satu tangkainya, apakah masih sesuai kriteria lembap spesies itu. Asam sedikit, larik di mahkota bunga rewel itu, akan berubah warna. Laiknya bunglon, mahkota itu akan beradaptasi dengan tingkat keasaman tanahnya. Menjadi ungu, warna yang paling ibu benci. Padahal batas antara biru dan ungu itu rancu, ibu. Tapi ibu bersikeras jika manusia disiplin dan mengetahui semua batasan yang ada dalam hidup ini, segala sesuatu akan berjalan sesuai keinginan pribadi. Itu hal yang kugenggam erat dalam memori. Petuah yang sering dilontarkan ketika Anjani lewat dari 10 menit tidak mengecek pH tanah. Hanya 10 menit, bunga itu memang tidak akan berteriak ketika Anjani lupa tidak mengeceknya. Hanya saja, ibu yang akan berkomentar bagaimana ia tidak bisa membagi waktu secara sistematis. Anjani menyentuh perlahan mahkota-mahkota bunga itu. Masih biru. Sudah dua bulan ia menempel mahkota-mahkota bunga itu di album. Tidak ada pengecekan, tidak ada pemberian pupuk, tidak ada penyiraman. Hanya penyemprotan parfum vanili tiap pagi. Masih biru. Seharusnya, mahkota bunga itu sudah layu. Cokelat muda. Itu warna yang seharusnya Anjani lihat. Tapi begitulah hidup ini. Hidup berhak melahirkan banyak tanda tanya. Dan tanda tanya tidak pernah meminta jawaban. Jawaban itu opsional. Bisa hadir untuk tersingkap, bisa menjadi bayang karena kodratnya yang tak tertangkap. Tanda tanya juga bebas memilih kesedihan atau kebahagiaan sebagai takdirnya. Ketika takdir sudah berfusi dengan tanda tanya, yang mampu dilakukan manusia hanya memenuhi lorong jawabannya. Anjani menutup album foto itu. Ia hirup napas dalam-dalam. Tersemat wangi dupa dibakar bercampur dengan aroma melati. Anjani beranjak dengan hati-hati. Menuju kamar milik ayahnya. Ibu menghampiriku. Terdengar suara ibu dengan raut tertekan, pasi, dan kebingungan. Dahinya berkeringat, tangan ibu basah, kaki ibu gemetaran. Pelan-pelan ibu berkata kepadaku,
“Ni, Ayah menunggu jemputan.”, Ibu berkata dengan sangat ragu. Mampu Anjani rasakan dari kelirihan suara Ibu. Anjani spontan masuk ke kamar ayahnya. Apa yang harus ia lakukan di hadapan manusia yang sedang di ambang batas napasnya? Ia tatap laki-laki paruh baya itu. Ingin ia katakan sesuatu, tapi ia sudah tak mampu. Hening merasuk ruangan itu. Angin pun sungkan gemerisik. Hanya wangi dupa dan melati yang menguasai ruangan itu. Ibu pasti membakarnya karena membutuhkan ketenangan. Anjani masih menatap ayahnya. Tak tahu apa yang harus ia perbuat, ia memegang kedua tangan ayahnya yang dingin. Seperti dalam sebuah kelam, ia merasakan ketakutan yang besar dalam dingin tangan ayahnya. Matanya seperti sudah landas. Rela melepas apapun yang ia punya selama hidupnya. Bagaimana cara merayakan perpisahan? Dengan segala upaya, kata pun tak pernah sanggup untuk mewakilinya. Air mata ayah jatuh satu per satu. Air mata selalu punya cerita. Anjani tahu itu. Sabar ia menunggu ayahnya bersuara. Tapi batinnya meyakini bahwa ayahnya tak sanggup lagi berbicara. Anjani hanya tersenyum pada ayahnya. Sang Ayah pun membelai kerudung Anjani.
“Ni, apa yang telah kamu raih dalam hidupmu, tidak akan pernah sia-sia. Takdir yang terjadi dalam hidup ini adalah sebuah anugerah yang tidak dapat kita sangkal.”, Anjani menatap ayahnya lamat-lamat. Seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih, Anjani menarik napas perlahan menunggu apa yang ayahnya ingin katakan. Tetap hening. Ayah mencengkram sprai kasur. Matanya menatap langit-langit kamar seolah kebingungan. Kilat matanya seolah bercerita akan hadir sebuah cerita besar dalam hidupnya. Ayah menatap Anjani dengan air muka kesedihan. Dalam seluruh hidup Ayah, Anjani tahu Ibunya sangat penting bagi Sang Ayah. Tapi Anjani sangat paham, dirinyalah yang Ayahnya prioritaskan. Waktu ia lego satu per satu tanpa takut kalah oleh perjudian Semesta. Demi putri tunggalnya. Banyak luka yang Ayah peroleh karena Anjani. Selaksa air mata hidup dalam sukma Sang Ayah. Semua karena Anjani.
“Sekalipun kamu sudah merelakan segala hal yang terjadi, jangan pernah kamu melupakan adat yang pernah kamu jalani. Tradisi itu identitas diri. Sebesar apapun kita bersama berjuang melawannya, tapi ternyata sebesar itu pula sakit yang Ayah rasakan.” Anjani menatap pelupuk mata Ayah. Bingkai itu sempurna menadah air mata Ayah. Hanya dengan perkataan Ayah kali ini, Anjani percaya. Yang ia korbankan tak pernah percuma. Tiga tahun Anjani hidup dalam jerat perubahan. Tiga tahun itu pula Ayah dan Ibu menderita. Dongeng indah yang Anjani rawat dengan hati-hati nyatanya tak pernah abadi. Hanya dua bulan Anjani bisa merasakan senyum Ayahnya. Tentang pengumuman, tentang perayaan, tentang kebanggan, semua itu hanya Anjani rasakan selama dua bulan. Waktu yang sebentar bagi manusia yang terlena. Waktu yang cukup lama bagi manusia yang menunggu. Masalahnya Anjani terlena. Belum sempat bersiap, waktu telah dilarungkan menuju samudera milik takdir. Mekanisme yang Anjani belum pahami. Tentang ruang batas kehidupan manusia, tentang hari penjemputan, dan tentang perbedaan ruang milik Semesta. Ya, hidup memang ranah persinggahan. Tapi tidak bagi Anjani, hidup baginya adalah tempat mencari tahu peradaban dalam dirinya. Karena, dalam setiap detiknya, Anjani telah merasakan, makna dari menyinggahi dua ruang milik Semesta. Yang tidak semua bisa menyintasinya. Yang semua itu hadir karena Ayah dan Ibunya. Ayahnya meraih ujung kerudung Anjani. Anjani mendekatkan telinganya. Ia tahu Pamudji akan membisikkan sesuatu.
“Kau tahu lemari eboni di kamar depan? Ambillah kotak berwarna cokelat di pintu sebelah kanan baris paling atas. Kamu calon mahasiswa, sudah cukup dewasa untuk memahami itu.”, Pamudji dengan binar di matanya, seolah ia telah mewariskan hal yang ia sembunyikan selama ini. Pamudji menarik napas perlahan. Anjani menatap Ayahnya dengan tercekat. Ia melihat bagaimana Semesta bekerja. Memilih siapa yang dianggap telah menyelesaikan alur hidupnya. Dan ketika Ayahnya mengembuskan napas terakhir, Anjani menunduk. Tidak ada takdir, segala sesuatu terjadi pasti ada alasannya.
**
Pamudji. Siapa yang tak mengenal karya-karyanya? Fotografer handal yang ribuan kali memenangkan kontes. Penulis yang buku-bukunya selalu diminati. Pelukis yang karyanya dipajang di mana-mana. Pria menyenangkan yang sempurna. Tampan, kaya, dan memiliki keluarga bahagia. Seorang istri cantik yang berprofesi sebagai pengacara dan putri tunggal yang cantik dan berprestasi. Pamudji selalu membanggakan istri dan putrinya kepada siapa pun yang menanyakannya. Terlebih putrinya. Anak yang mewarisi kecerdasan kedua orangtuanya. Menulis, melukis, memotret, menghafal, dan kesempurnaan analisis. Sejak sepuluh bulan, Anjani sudah bisa membaca, meskipun hanya beberapa kata sederhana, setidaknya alphabet ia sudah hafal di luar kepala. Duduk di bangku taman kanak-kanak, Anjani senang melukis. Sering menjuarai perlombaan. Menginjak kelas satu sekolah dasar, Anjani berhasil menamatkan novel terjemahan milik penulis terkenal. Dan ia paham benar apa isinya. Anjani mulai tertarik dengan dunia kamera ketika ia kelas 5 sekolah dasar. Dan hafalan Anjani luar biasa. Sangat cepat. Angka maupun kata, ia sanggup menghafalnya sebanyak apapun itu. Segala hal yang dimiliki Anjani, membuat Pamudji dan istrinya sangat bangga.
Pamudji menatap anaknya yang sedang menggambar di kursi pekarangan. Ia menatap putrinya yang masih berusia 11 tahun itu dari balik pintu. Tak lama, Anjani menaruh pensilnya di atas buku gambarnya. Terdengar bisik-bisik. Anjani bercengkerama. Tidak ada manusia di sana. Pamudji terdiam. Bagai angin yang semakin mengobarkan api, keingintahuan Pamudji bergejolak. Dengan siapa Anjani? Ingin ia tanyakan pada putrinya itu, tapi rasa penasaran itu ia pendam. Pamudji berusaha mendengarkan percakapan kecil itu. Nihil. Tidak terdengar apapun. Pamudji mengalah. Ia memilih untuk menatap anaknya saja. Ya, segala sesuatu yang tak terlihat bukan berarti tidak ada. Pamudji paham benar hal itu. Muncul sebersit kekaguman dalam dirinya kembali. Anjani, semakin istimewa. Pamudji akhirnya membiarkan putrinya bermain. Ia menuju kamarnya, Ratih melihat tatapan Pamudji yang penuh kekaguman. Suaminya itu, diam tapi Ratih yakin ia berbicara dalam pikirannya. Tanpa perlu alat, Ratih mampu berbicara dengan suaminya. Pamudji tersenyum. Ratih membalasnya dengan senyuman yang lebih menawan. Pasti Anjani.
“Apa kau punya rencana untuk Anjani?” Pamudji menatap Ratih lamat-lamat. Seolah mempersiapkan diri atas jawaban Ratih. Ratih sangat tahu, Anjani adalah permata bagi suaminya. Masa depan Ratih dan Pamudji dalam rengkuhan Anjani. Ratih berspekulasi, apakah Pamudji siap menerima saran darinya? Ratih membayangkan masa depan Anjani dengan cepat. Setelah berpikir cukup mantap, Ratih bersuara.
“Ayo masukkan Anjani ke pondok.” Bagai melempar batu, keputusan Ratih dengan tepat mengejutkan Pamudji. Tiga tahun Pamudji akan berpisah dengan Anjani. Sungguh tega Ratih memberi saran. Pamudji menatap Ratih dengan saksama. Ratih hanya terdiam sambil memutar pensil di jemarinya. Menunggu jawaban. Pamudji menatap Ratih. Meminta diperhatikan. Ratih memutar bola matanya. Dan mekanisme perbincangan tak bersuara itu terjadi. Alasan. Ternyata Pamudji menuntut alasan Ratih berniat memasukkan Anjani ke pondok.
“Kita tak paham apapun tentang agama, biarkan ia belajar lebih daripada kita. Perkara keilmuwan duniawi, aku percaya padanya. Tapi aku tidak mau memilih jalan yang tersesat untuk ke depannya. Pikirkan ini baik-baik.”, Pamudji tersenyum. Alasan yang cerdas. Ia mengangguk. Tanda mengiyakan Ratih. Ia beranjak dari kamarnya, menuju Anjani. Anjani sedang menulis sekarang. Dipanggilnya gadis kecil itu.