Lentera Anjani

almiralth
Chapter #3

Istimewa#3

Anjani masih mengenakan seragam. Ia berlari menuju mobil putih milik Ayahnya. Hal yang paling ia syukuri adalah, Anjani anak tunggal penuh dengan kasih sayang. Kendati mereka sibuk, keduanya selalu berusaha menyempatkan waktu dengan Anjani. Anjani juga hidup dalam kelimpahan materi. Ia memiliki Ayah yang hanya di depan laptop atau memegang kamera, sudah mendapat kiriman dari perusahaan. Ia memiliki Ibu, yang bisa menjadwalkan kapan ia bisa menerima pelanggan. Kapan ia harus berinteraksi dengan Sang Putri. Anjani masuk ke mobil Ayahnya. Rutinitas dua hari sekali. Anjani melamun. Pulang sekolah pukul empat sore. Berlanjut ke tempat kursus tambahan pelajaran. Hingga pukul enam sore. Cukup padat untuk gadis berusia 11 tahun. Tapi Anjani menyukainya. Sama seperti Anjani menyukai bunga Hortensia biru milik Ibu. Tak pernah menganggap beban. Anjani melakukannya sukarela. Pasca kursus pun, Anjani masih belajar. Ratih kebingungan dengan anaknya. Apa yang membuat ia sebegitu senangnya dengan belajar? Tidak ada alasan. Anjani tersenyum dalam batinnya. Jika menyukai sesuatu dan kau mendapatkan alasannya, setelah alasan itu hilang, kau berhenti menyukainya. Memang hal itu yang ada di benak Anjani. Ia melakukan segala yang ia suka sampai ia lelah dengan keadaan. Baru Anjani menyerah. Tapi bukan seorang Anjani, kau tak akan mengenalnya jika ia menyerah. Karena Anjani hanya bisa menyerah jika sesuatu yang ia cintai sudah memerintahkannya menyerah. Ambisinya, baru bisa terpatahkan sempurna. Bagi Anjani, sebuah kesia-siaan melakukan sesuatu tanpa landasan cinta. Terlebih yang kau cintai menyuruhmu berhenti. Itu prinsip Anjani. Gadis 11 tahun yang penuh filosofi. Sekecil itu telah sanggup memahami apa yang terjadi. Pada dirinya. Pada lingkungan sekitarnya. Sudah sampai. Anjani menghentikan kedua matanya pada arah pukul sepuluh. Seorang wanita cantik duduk di pinggir jalan menuju lorong kelas. Anjani tidak mengenalnya. Ia juga baru pertama kali melihatnya. Tapi Anjani melihat sesuatu yang ganjal di situ. Wanita itu, seperti hendak menyampaikan sesuatu. Seperti hendak mengawasi. Siapa pun yang menatapnya seolah ia tak pernah nyata di dunia ini. Anjani menyisir ubin lorong. Tak peduli bahwa ekor wanita itu mengikuti langkahnya. Tahun terakhir untuk kursus di tempat ini. Ya, Anjani mengaminkan keinginan Ayah Ibunya untuk sekolah di Bogor. Jauh dari jangkauan Ayah Ibu. Memisahkan diri. Ada ruang batas antara mereka. Jarak yang Anjani tak pernah sentuh dalam 11 tahun ia menapaki bumi ini. Kenyataan dingin yang Anjani takut ia tak sanggup menghadapi. Sungguh mengerikan. Yang paling Anjani takutkan adalah kenangan hadir tanpa diundang. Kenangan akan hadir terpahat dengan resiko besar. Mengingatnya, seolah bahagia terlukis sempurna. Sempurna menyadarkan bahwa kau kehilangan seutuhnya. Dan masalah terbesar yang dimiliki Anjani adalah ingatannya sangat kuat, tepat, dan cepat. Anjani takut tak sanggup, jika ia harus teringat dengan segala hal yang ia miliki selama ini. Tapi hidup adalah wadah bagi pertanyaan. Tentang jawabannya, hanya dibutuhkan mekanisme pemahaman manusia yang terkadang dikuasai kedinamisan.

***

Anjani selalu dinasehati oleh Ibu. Dua puluh empat jam dalam seminggu. Katakan saja setiap hari. Ibu selalu bercerita dunia itu keras. Anjani dulu sempat tak paham apa arti keras dalam kehidupan. Anjani belum pernah merambat turun dari area kenyamanan. Setiap kali Anjani menanyakan tentang hal itu, Ibu hanya tertawa. Kalau Ibu sudah tertawa, Anjani selalu akan dicium kepalanya. Dan Ibu akan menyebut nama lengkapnya dengan lembut. Anjani Ranupadma.

“Anjani itu dari bahasa Jawa. Tekun. Ulet. Ibu pengen kamu menjadi anak yang telaten. Anak yang menekuni semua mimpinya. Ranupadma itu artinya bunga teratai. Mungkin kamu akan bertanya kenapa teratai. Teratai itu, meskipun di lingkungan kotor, meskipun sekitarnya layu, teratai tetap suci. Tetap tegak berdiri. Teratai tetap bisa seimbang di air. Meski air itu berguncang. Meskipun air itu beriak. Apalagi air itu dalam kondisi tenang.”, Anjani selalu mengingat makna dari namanya. Setiap kali Ibunya berbisik arti namanya, Anjani merasakan hal yang patut Anjani patuhi. Arti nama itu. Seolah stimulasi, Anjani selalu semakin bersemangat kala ia mengingat nama itu. Bagaikan panah melesat, doa Ibu tak pernah tersesat. Jatuh tepat di hadapan Pencipta. Mekanisme yang luar biasa. Manusia butuh antre panjang dalam pengaminan doa oleh Semesta jika ia tak memiliki kesempatan sebagai Ibu, orang yang tersakiti, atau manusia yang kuyup karena hujan. Itu yang Anjani tahu. Tumbuhlah Anjani sebagai seorang yang sangat ulet. Segala sesuatu ia lewati dengan baik. Tepat, cepat, dan teliti. Sedikit saja ia melenakan pekerjaannya, Anjani sama sekali tidak akan tenang. Semua harus berjalan sesuai rencana. Berjalan sesuai ekspektasinya. Berjalan dengan sempurna. Tapi terkadang, memang kesempurnaan itu yang menjatuhkan. Pengharapan atas kepercayaan diri dalam kemampuan seseorang untuk mewujudkan kesempurnaan, terkadang itu cukup membuat anak manusia masuk dalam ambang batas kesadaran. Tapi ia Anjani, gadis yang meski telah dijatuhkan ribuan kali, ia akan berusaha untuk keluar dari lubang meski ia seorang diri. Tak hanya telaten dalam mengerjakan kegiatan sehari-hari, Anjani pun sangat telaten dalam menyusun satu per satu mimpinya yang terkadang takdir menyuruhnya untuk mati suri.

***

“Tidak mungkin kursi itu berpindah dari kanan ke kiri! Buku di bangku milikku pun menghilang. Lihatlah, bahkan sedari tadi bangkuku kosong. Jadi siapa yang mengambil bukuku dan menggeser kursinya?”, Rendi berteriak ke seluruh isi kelas. Buku matematikanya menghilang dari kursi. Dan kursinya tergeser jauh dari bangkunya. Rendi frustasi. Satu jam lagi pelajaran matematika akan dimulai. Dan dia sama sekali belum menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Anjani melirik bangku Rendi. Seorang anak laki-laki kecil sedang tertawa sambil duduk di sana. Anjani memanyunkan bibir. Nakal sekali. Anjani kembali melanjutkan lukisannya. Perkara matematika, guru keluar kelas saja ia sudah menyelesaikannya tempo lalu. Sebuah tangan menyentuh hijabnya. Ia ditarik. Anjani memutar mata dengan malas. Apa lagi, batinnya. Anak kecil laki-laki itu sudah di belakangnya. Menatapnya dengan berbinar. Seolah ia senang bahwa Anjani mampu melihatnya. Anjani mengembuskan napas kencang. Tidak untuk sekarang. Anjani sedang butuh konsentrasi untuk mengikuti lomba menulis minggu depan. Tapi anak laki-laki kecil itu bersikeras ingij diperhatikan. Ia menarik rok seragam Anjani. Anjani menarik paksa roknya. Dan tanpa disadari ia memekik. Anjani di luar sadarnya sampai mengeluarkan hardikan. Pekikan luar biasanya yang mampu mengejutkan seluruh isi kelas. Pekikan yang membuat curiga seluruh isi kelas.

“Sedang diganggu?”, Rendi bertanya dengan sengit. Sekelas tertawa. Anjani melihat sekeliling. Sangat beruntung saat itu tidak ada guru yang mengajar. Anjani menunduk. Deru napasnya tertahan. Mereka mampu mengejek padahal mereka tak melihat sedikit pun apa yang Anjani tatap. Berandal. Tidak tahukah mereka Anjani bisa menyuruh salah satu makhluk itu menampakkan diri?

“Namanya saja Anjani. Hei Anjani! Kau pernah tahu arti namamu itu?”, Rendi berteriak kepadanya. Membuat sekelas menjadi ikut penasaran. Telaten. Uket. Tekad. Itu arti dari Anjani. Adat Jawa sudah menitiskannya. Dan arti nama itu telah menyusup dalam dirinya.

”Anjani itu dari bahasa Urdu. Kau belum pernah ke Pakistan bukan? Artinya adalah tidak nyata! Ilusi! Khayalan! Jadi kau adalah realisasi dari namamu itu! Bertindak seolah bisa tahu apa yang terjadi. Seolah paham apa yang tidak bisa kita lihat. Payah!”, desis Rendi pada Anjani. Anjani hanya mampu terdiam. Tak sanggup berkata. Benarkah itu? Nama yang selama ini menjadi stimulasinya? Nama yang selalu dibanggakan Ayah Ibunya? Artinya hanya tidak nyata? Bingkai mata Anjani panas. Air matanya luruh. Seisi ruang kelas menjadi sesak. Seolah setiap orang dilarang bernapas. Anjani semakin marah. Seisi kelas saling berbisik satu sama lain. Ditahannya amarah itu, dipendam tangisannya dalam-dalam. Dan, ketika amarah sanggup menjadi alasan seseorang untuk bertahan, tangis tak butuh banyak penjelasan. Anjani memejamkan mata. Rendi mendekatinya. Seolah Anjani adalah makhluk yang paling ia benci. Rendi, siswa tercerdas di sekolahnya siap beradu argumen dengan mengatas namakan logika. Tapi yang tak terlihat tak perlu sebuah logika. Anjani tahu itu. Sistem dalam tubuh manusia yang terlihat saja disebut fakta. Bagaimana bisa hal tak kasat mata seperti dunia luar dianggap lelucon belaka? Anjani tidak terima. Ia berhadapan dengan Rendi. Apapun itu, Anjani siap mendebatnya. Bagaimanapun, Anjani juga siswi tercerdas di sekolahnya. Saingan terberat Rendi. Apalagi Rendi tak unggul di bidang seni. Anjani mencengkeram lengan baju Rendi. Dan, ketika tatapan mereka beradu. Bagai gelegar yang menyambar, suara buku matematika Rendi robek terdengar. Sekelas terkejut. Rendi semakin nanar menatap Anjani. Ia mengepal tangan. Mencengkeram hijab Anjani. Menariknya dan mendudukkan Anjani dengan paksa. Anjani tak merasakan sakit sama sekali. Rendi menatap Anjani sengit. Tapi Anjani memang bukan manusia seutuhnya. Ia memiliki ajudan yang siap melayaninya. Ditariknya kerah baju Rendi. Dilepas oleh Anjani. Rendi terduduk lemas. Seolah mengalah, Rendi pasrah saja tubuhnya dibanting keras oleh Anjani. Anjani mengintimidasi Rendi. Dengan tatapan yang Rendi jadikan pengalaman seumur hidupnya di bumi. Tatapan Anjani, bukan kawan. Tatapan kebencian. Tatapan penuh dendam. Tatapan menunggu hari ia akan membalas perbuatan. Tatapan yang penuh kesombongan. Rendi terdiam. Mulutnya telah dibungkam. Anjani, bukan orang sembarangan.

***

Anjani jalan menuju rumah guru fisikanya. Bu Sondang. Wanita yang sangat Anjani hormati dari seluruh kalangan dewan guru. Bu Sondang yang turut berpartisipasi dalam tinggi dan stabilnya nilai-nilai Anjani. Anjani bukan orang yang cerdas sebenarnya. Hanya pintar dan punya tekad yang bulat. Itu sifat Anjani yang disenangi banyak guru. Masih dalam peringkat dua besar pun, Anjani tetap setia mengikuti kursus. Bu Sondang memandangi Anjani dari jendela bagian depan rumahnya. Anjani masih mengenakan baju putih merahnya. Berjalan gontai, seolah hari itu adalah hari terberatnya.

”Kusut sekali mukamu Anjani”, Bu Sondang menatap Anjani penuh hati-hati. Sondang tahu Anjani pasti hari ini baru saja mengalami pertengkaran. Air mukanya sangat tidak tenang. Momen yang sempurna. Sondang tersenyum. Senyum penuh ketenangan. Seolah tahu apa yang selalu dialami Anjani. Seolah selama ini Sondang menjadi spion bagi Anjani. Anjani diam. Sondang mengelus hijab Anjani. Terasa aura intimidasi menyelimuti. Sesak penuh udara dalam ruangan belajar itu. Anjani serasa disandera oleh sebuah rantai yang sangat kuat. Rantai yang penuh keambisiusan tajam. Yang Anjani tidak pernah tahu apa itu. Sondang menarik Anjani hingga Anjani sanggup mendengar detak jantungnya. Bukan karena sangat dekat, tapi Sondang seolah ingin menunjukkan sebegitu kencangnya eksistensi Sondang. Sebegitu seriusnya Sondang hingga ia cukup mengendalikan Anjani lewat kerasnya detak jantungnya. Sondang menyeringai. Sondang mendekatkan kepalanya ke samping telinga Anjani. Terasa diikat oleh waktu. Anjani merasa ia sangat mampu mendengar apa yang Sondang katakan. Padahal Sondang hanya terdiam. Bak sebuah telepati, Anjani yakin persis apa yang Sondang maksud. Tidak boleh ada kemenangan dalam diri Anjani. Anjani hanya boleh menggagahi peringkat kedua. Sekeras apapun Anjani berusaha, sekuat apapun Anjani bekerja keras, semua akan berakhir harus mengalah. Hal yang Anjani paling benci. Dan Sondang tahu persis itu. Maka tersusunlah mekanisme yang membuat keadaan Anjani harus bergantung pada Sondang, sedangkan Sondang menyiapkan banyak hal untuk melemahkan Anjani. Anjani terdiam. Ia datang bukan untuk melawan apa yang ia benci. Ia datang untuk berkawan dengan permusuhan, sekalipun dengan air mata. Anjani sanggup menerimanya. Baginya, nilai di kertas dan sepasang mata pengawasan guru adalah harga diri. Sondang, wanita di hadapannya adalah kunci yang pas untuk rantai kehancurannya. Anjani mawas diri. Tapi ia harus tetap dekat agar bisa mendapat apa yang ia inginkan. Seolah pemain catur handal, Sondang bebas memilih hendak mengeluarkan siapa sana pasukannya. Hendak berbuat apa dengan rajanya. Dan Anjani, hanya bagian dari pion-pion catur itu. Tanpa pernah bertanya, Anjani melakukan apa yang Sondang katakan. Agar dapat menukar dengan yang Anjani inginkan.

“Besok ulangan harian. Pastikan nilaimu tidak lebih tinggi darinya.”, Sondang tersenyum. Bagaimanapun ia tersenyum, Sondang tak pernah terlihat manis. Selalu ada makna tersimpan di dalam sorot matanya. Mata yang menampilkan sebuah keputusasaan berbalut rasa penaklukkan. Anjani kalut. Siswa mana yang menginginkan dirinya tidak terbaik? Tapi Anjani punya mimpi lebih dari sekadar ulangan harian. Mimpi yang lebih dari sebuah ujian biasa. Anjani mengangguk. Sistem reproduksi manusia. Materi esok hari. Pelajaran teraneh yang Anjani terima. Bagaimana manusia bisa menjabarkan dengan tepat mekanisme kelahiran tapi merutuki kehidupan itu sendiri? Hah, sesuatu yang kontras. Bagaimana manusia sanggup memahami hal serumit sistem itu tapi sangat sulit mengerti kondisi orang lain? Aneh. Anjani sanggup menjalani keduanya. Mempelajari dan memahami sekitar. Anjani membuka buku cetaknya. Terpatri dalam benaknya untuk bertahan sebentar saja. Enam bulan lagi, Anjani. Kamu tak akan dikenang sebagai juara satu lagi. Rendi.

 ***

“Anjani.”, pelan dan menenangkan. Anjani terbangun dari tidur panjangnya. Demam membuatnya tidak bersekolah hari ini. Anjani melihat sekitar. Tidak ada.

“Anjani. Jangan pernah berlutut sekalipun kau butuh.”, sangat lembut. Mengintimidasi. Benar. Anjani membenarkan perkataan itu. Anjani kembali membaringkan badannya. Masih panas. Bukan, bukan panas karena suhu tubuhnya meningkat. Tapi panas karena punggung Anjani sangat panas. Seperti meriang. Tapi dingin dan panas. Punggung, hanya punggungya saja. Dan setiap kali ia mengabaikannya, ubun-ubunnya seperti ditarik kencang. Anjani menutup dirinya dengan selimut satu badan. Panas. Dibukanya selimut itu. Payah, sekarang dingin. Ditariknya lagi selimutnya menutupi seluruh badannya. Ditahan rasa panas itu.

Lihat selengkapnya