Visum et Repertum

Tera
Chapter #2

Hukum Newton

"Kenapa sih, kamu suka banget olahraga jam segini, Sa?”

Angkasa menghentikan larinya, ia membungkuk sebentar segera mengumpulkan oksigen untuk mengisi paru-parunya yang seolah terimpit. Angkasa menarik tubuhnya kembali pada posisi tegap dan menatap arlojinya sekilas.

“Jam segini orang-orang udah pada tidur, olahraga jadi lebih leluasa,” sahutnya sedikit acuh.

Angkasa menepi sebentar dan duduk pada pinggiran trotoar jalanan yang tidak jauh dari tempat ia tinggal. Arawinda, sosok perempuan yang selalu mengikuti Angkasa itu pun ikut mendudukkan dirinya di samping laki-laki yang usianya sudah memasuki kepala tiga itu. Kepalanya menoleh menatap Angkasa yang tengah memijat-mijat kakinya pelan.

“Bukannya enggak baik ya kalau olahraga malam-malam?” tanya Arawinda.

Masih setia dengan posisinya Angkasa menjawab pertanyaan Arawinda dengan malas.

“Waktu luang saya cuma ada di malam hari, Arawinda. Dari pada tidak sama sekali, lebih baik jogging pelan-pelan di malam hari.”

Angkasa menghentikan pijatan kecilnya dan menaruh lengannya sedikit ke belakang untuk menopang tubuhnya.

“Lumayan penyegaran sebelum istirahat, ‘kan?” lanjutnya dan menoleh menatap Arawinda.

Sementara Angkasa menikmati terpaan udara malam, Arawinda yang tadinya masih duduk di samping kirinya kini sudah berpindah posisi berdiri di hadapan Angkasa. Mengejutkan laki-laki itu.

“Hobi banget ngagetin saya,” celetuk Angkasa.

Arawinda bergaya seolah-olah menghela napas yang sebenarnya ia sendiri tidak bernapas lagi. Ia membungkuk dan menatap Angkasa lekat-lekat.

“Kamu pasti udah sadarkan ada makhluk-makhluk aneh yang ngintip dari tadi?” tuding Arawinda pada Angkasa.

Sedangkan Angkasa hanya tertawa pelan mendapati ekspresi menuduh ala Arawinda.

“Toh, ada kamu yang bisa bantu saya usir mereka. Lagi pula saya udah biasa diintip makhluk seperti itu,” sahutnya santai.

Angkasa beranjak dan menepuk pelan bagian belakangnya, membersihkan sisaan pasir di sana.

“Mungkin mereka baru pertama kali lihat laki-laki tampan,” lanjut Angkasa narsis.

Arawinda menautkan alisnya dan memutar bola matanya malas.

“Narsis,” protes perempuan itu.

Dengan santai Angkasa melangkahkan kaki menuju kediamannya kembali setelah puas berlari mengitari perumahan yang tergolong mewah itu. Langkahnya terhenti sejenak setelah mendapati sebuah panggilan masuk dari salah seorang koas di rumah sakit tempatnya bekerja.

“Malam, Dok. Mohon maaf mengganggu waktunya, ada pasien meninggal di kamar mandi, ada pihak kepolisian yang meminta dokter untuk investigasi forensik.”

Angkasa mengernyit di balik ekspresi datarnya.

“Kenapa enggak whatsapp saya untuk laporan status?” sambar Angkasa sedikit kesal.

Pasalnya, ia baru beberapa jam lalu sampai rumah dan berolahraga sebentar, andaikan saja ia mendapatkan laporan sebelumnya ia tidak harus mengulangi hal-hal yang tidak perlu.

“Maaf, Dok. Saya sudah kirimkan laporan sejak setengah jam lalu. Namun, belum ada balasan dari dokter.”

Angkasa menarik ponsel dari indra pendengarnya dan menatap layar yang berukuran lima inci itu. Mengusap bagian atas layar untuk menampilkan notifikasi ponselnya. Angkasa berdecak kesal atas kebodohannya sendiri yang tidak menyalakan notifikasi pesan masuk pada aplikasi hijau itu.

“Dua puluh menit lagi saya sampai di sana. Tolong kamu handle dulu semuanya.”

Angkasa menekan ikon merah tanda mengakhiri panggilan dan mulai berlari agar ia dapat berbenah diri. Meninggalkan ekspresi bingung dari Arawinda.

“Ada apa sih jam segini kok balik ke rumah sakit, Sa?” tanya Arawinda yang masih setia mengikuti langkah cepat Angkasa.

Lihat selengkapnya