Visum et Repertum

Tera
Chapter #3

Cranium

“Ini bagian-bagian yang tersisa dari pakaian korban.”

Bintang mengarahkan pen laser-nya ke arah layar proyektor di ujung kanan yang sedikit menyerong ke arahnya dan juga para audiensi.

“… dapat Anda lihat dari rekaman CCTV sebelumnya bahwa potongan-potongan dari pakaian tersebut tampak identik dengan apa yang dipakai oleh korban.”

Bintang menatap lurus kepada hakim pria yang sudah terlihat berusia setengah abad itu. Tatapannya tajam dengan raut yang sangat serius. Tipikal laki-laki pekerja keras dengan kemauan kuat yang tidak pantang menyerah dan putus asa.

“Tidak hanya pakaiannya, begitu pula dengan aksesoris yang dikenakan oleh korban. Dari CCTV yang didapatkan, korban terakhir terlihat sekitar enam hari sebelum kejadian. Berdasarkan kesaksian ….”

“Keberatan, Yang Mulia!” potong seorang jaksa penuntut namun diindahkan oleh Bintang.

“… berdasarkan kesaksian orang sekitarnya, korban memang terlihat sangat modis dan sering berdandan maupun berpakaian mencolok ….”

Bintang maju selangkah sebelum melanjutkan perkataannya.

“Akan sangat logis untuk dijatuhkannya dugaan bahwa korban telah diculik,” lanjutnya pada hakim ketua.

Seorang jaksa penuntut yang sebelumnya tengah duduk, kini beranjak dari kursinya dengan menumpukan kedua lengannya di atas meja ia berseru, “Keberatan, Yang Mulia! Semua yang disampaikan oleh pembela hanya lah sebuah spekulasi dan bukan fakta!” Tatapan tajam Bintang kali ini jatuh kepada jaksa tadi.

“Keberatan diterima,” sahut hakim ketua.

Bintang menghela napasnya berat. Ini baru kasus ketiganya setelah kepindahan dirinya ke Kota Bandung, tapi ia sudah merasa sangat frustrasi ketika harus membuktikan bahwa kliennya tidak bersalah ketika keahliannya adalah mencari kesalahan terdakwa.

“Pembela, apakah Anda memiliki bukti aktual bahwa korban telah diculik?”

Bintang bergeming, bola matanya bergerak menjauhi pandangan hakim ketua. Sambil menghela napas Bintang menunduk dan menatap lurus pada ubin, kesal karena ia merasa kalah saat itu.

“Tulangnya penyok,” ucap Angkasa pada asistennya dan para koas yang tengah memperhatikan pergerakannya.

Mentari yang sejak tadi menahan mualnya pun tidak dapat menahannya lebih lama lagi. Ia berlari ke luar ruangan disusul oleh Aina yang sama-sama merasakan kocokkan dahsyat di perut mereka.

Angkasa menatap sejenak kepergian beberapa mahasiswa --dokter muda-- yang tengah menempuh stase forensik itu. Ia mendengkus kasar. “Silakan yang tidak tahan segera keluar. Saya tidak akan pernah memberikan sedikit pun toleransi seseorang yang mengeluarkan isi perutnya di sini,” ujarnya tajam.

“Kamu galak banget, lembut sedikit dong, Angkasa,” ujar Arawinda yang berdiri tepat di sampingnya dengan tangan yang terlipat di depan dada.

Angkasa tidak memedulikan celotehan perempuan itu dan kembali mengalihkan atensinya pada jasad yang baru saja ditemukan setelah kurang lebih dua tahun terkubur di sebuah lahan perkebunan. Tangannya tergerak merogoh masuk ke dalam rongga dada jasad yang bersisakan tulang kerangkanya saja.

“Sebagian organ dalam hilang,” ujarnya lagi.

Beberapa koas yang masih mencoba bertahan menggerakkan jemarinya indah di atas lembaran yang telah dibagikan oleh Angkasa sebelumnya. Lembaran yang sama seperti milik asistennya, kertas yang ia gunakan untuk memberikan laporan kepada tim investigasi. Angkasa sengaja membagikan form yang sama seperti apa yang ia miliki, agar para calon dokter terbiasa akan menuliskan laporan seperti apa yang ia lakukan. Ia adalah sosok pria yang tidak pelit ilmu. Salah seorang dari tim investigasi mengusik konsentrasi milik Angkasa dengan laporannya.

“Dok, Pasien memiliki riwayat penyakit jantung dan menjalani operasi jantung sebelum kematiannya.”

“Menurut keterangan istri korban, jasad korban menghilang setelah sepuluh menit dinyatakan meninggal dunia. Saat itu tim medis telah meninggalkan ruang rawat korban dan sang istri pergi ke toilet untuk membasuh wajah. Ketika ia kembali korban telah menghilang, hingga ditemukan baru-baru ini,” lanjutnya.

Angkasa mengangguk pelan dengan bibirnya yang sedikit mengerucut. Otaknya bekerja begitu keras kali ini. Kejadian itu sedikit janggal menurutnya, ketika korban yang kehilangan organ dalam tubuhnya ada kemungkinan terjadinya insiden jual beli organ di pasar gelap. Namun, hal tersebut dapat ditepis ketika sebuah pernyataan yang mencuat bahwa korban memiliki riwayat penyakit jantung dan telah menjalani operasi. Ada kemungkinan komplikasi pada organ lain sehingga terjadinya transaksi jual beli organ pun tidak mungkin dilakukan. Tangan miliknya tergerak mengoyak bagian kulit tengkorak dan menampakkan beberapa bagian yang retak. Menyisakan ringisan tertahan dari para calon dokter.

“Tengkorak mengalami retakan dalam seolah gepeng dan lumayan besar. Ini lima belas sentimeter,” lanjutnya lagi.

Arawinda membungkukkan tubuhnya, menyejajarkan tingginya dengan Angkasa yang tengah berada di posisi sama seperti dirinya.

“Wow, mungkin dia dipukul dan tewas. Setelah itu dikubur selama bertahun-tahun untuk menghilangkan jejak!”

Spekulasi dari Arawinda yang sebenarnya sempat sedikit terbesit di pikiran Angkasa. Sedikit, tidak sampai seujung kuku. Angkasa menarik tubuhnya dan menyahuti perkataan Arawinda.

Lihat selengkapnya