Visum et Repertum

Tera
Chapter #4

Dekomposisi

Angkasa mengetuk-ngetukkan penanya pelan pada permukaan meja. Mata almond-nya tertutup rapat dengan kepala yang bersandar pada punggung kursi kerja miliknya. Kepalanya serasa bersemut, ada banyak spekulasi yang muncul untuk kemungkinan-kemungkinan yang ia tuliskan sebagai penyebab kematian korbannya. Ia pusing karena tidak dapat menuliskan dugaannya begitu saja. Sementara tersangka masih dalam penyidikan, ia pun harus tetap melakukan autopsi untuk membantu proses investigasi. Lelah dengan semuanya, Angkasa berharap ia dapat mengambil cuti barang satu sampai dua hari untuk mendamaikan pikirannya. Memorinya berputar pada beberapa jam sebelumnya, di saat ia melakukan simulasi kecil. Kemungkinan yang hampir seratus persen dipercayai oleh Angkasa adalah sebuah momen di mana korban beradu mulut dengan tersangka dan terjadi serangan fisik ringan yang berakibatkan kematian. Dari simulasi yang ia lakukan hantaman benda tumpul tidak akan menyebabkan retak yang menjorok ke dalam. Sedangkan keretakan yang terjadi pada korbannya adalah retak meluas yang menjorok ke dalam. Satu-satunya kemungkinan terdekat adalah tersangka mendorong korban hingga terjatuh dan kepalanya jatuh menghantam ujung benda tumpul. Lengan kursi yang terbuat dari kayu misalnya. Belum lagi pembusukan yang dialami korban sangat mempersulit investigasinya. Ingat, pembusukan adalah musuh terbesar ahli forensik.

Angkasa membuka kelopak matanya pelan, mencoba kembali pada kehidupan nyata. Ia sudah cukup lelah hari ini dan ingin beranjak menjatuhkan diri ke kasur empuknya. Setidaknya itu niat yang telah ditanamkan di hatinya sebelum sosok Arawinda menampakkan diri di hadapannya. Arawinda mencondongkan tubuhnya pada Angkasa yang baru saja membuka mata dan membuat laki-laki itu terkejut setengah mati. Refleks Angkasa mendorong tubuhnya ke belakang karena terkejut, menabrakkan punggungnya pada punggung kursi. Kursi kerja dengan tiga roda itu pun bergoyang tidak seimbang ke arah belakang mengikuti tubuh Angkasa. Laki-laki itu jatuh terjungkal ke belakang sesaat setelah ia mencoba meraih uluran tangan dari Arawinda.

“Bodoh! Aku mana bisa dipegang,” ujar Arawinda setelah mendapati tangannya yang tidak dapat diraih oleh Angkasa.

Arawinda berpindah posisi berjongkok di samping Angkasa yang sudah mendudukkan dirinya dengan wajah ditekuk marah. Tangannya mengusap-usap bagian kepala dan punggungnya bergantian, mencoba menghilangkan rasa nyeri yang ditimbulkan akibat benturan pada ubin tadi.

“Kamu benar-benar bikin jantung saya enggak sehat, Nda!” ujar Angkasa dengan emosi yang tertahan.

Hampir saja ia memekik pada Arawinda, kalau saja dirinya tiba-tiba lupa pukul berapa sekarang. Sementara Arawinda yang menyebabkan jatuhnya Angkasa hanya menampakkan cengiran tidak bersalahnya. Angkasa menangkap sosok yang tidak dikenalinya, berdiri tidak jauh dari posisi Arawinda sebelumnya. Seorang laki-laki yang tidak ia kenali, entah siapa kali ini yang dibawa oleh perempuan itu ke tempat tinggalnya.

Angkasa mengalihkan pandangnya pada Arawinda.

“Kamu bawa siapa, Nda?” tanya Angkasa.

Arawinda menatap laki-laki yang dimaksud oleh Angkasa.

“Dia orang yang kamu belek-belek kepalanya,” sahutnya santai tanpa rasa bersalah.

Angkasa sedikit meringis mendengar penuturan Arawinda.

Ia terdengar sangat mengerikan, padahal apa yang dilakukannya adalah hal biasa dalam dunia forensik dan pembedahan. Toh, tujuannya untuk bisa mencari tahu penyebab kematian korban, ‘kan?

“Saya terdengar sangat jahat kalau kamu bilang begitu, Nda,” protes Angkasa dan beranjak dari posisi duduknya tadi.

Sosok laki-laki yang dibawa oleh Arawinda tadi mengikuti pergerakan Angkasa yang menjauh dari meja kerjanya. Angkasa lelah dan malas sebenarnya untuk berinteraksi dengan makhluk-makhluk itu. Ada banyak energi yang harus dikeluarkannya untuk berinteraksi dengan para makhluk ciptaan Tuhan yang tidak lagi hidup. Tapi, sepertinya kali ini ia harus mengesampingkan rasa malas itu.

“Aku susah payah cari beliau buat diajak ke sini, ya. Kamu harus tanya langsung penyebabnya,” paksa Arawinda dengan tangannya yang menyilang di depan dada. Seolah dia adalah seorang bos besar.

Angkasa menghela napas pelan dan duduk di pinggiran kasur.

“Kenapa harus?” tanyanya.

Arawinda merotasikan bola matanya malas, tidak paham dengan jalan pikir sosok manusia yang satu itu.

“Aku itu kasihan lihat kamu kerja terus mikirin hantu-hantu kayak aku ini matinya karena apa. Jadi, aku berinisiatif untuk cari dan bawa arwahnya ke sini,” jelas Arawinda.

“Arawinda si hantu cantik tidak menerima penolakan!” lanjutnya tegas.

Angkasa bergeming sejenak, benar apa kata Arawinda, ia lebih baik bertanya langsung kepada korbannya itu dari pada harus pusing-pusing memikirkan penyebab kematian korban. Semakin cepat ia memecahkan kasusnya, semakin cepat juga ia dapat beristirahat. Angkasa menyetujui saran dari perempuan yang senantiasa selalu bersamanya itu. Ia duduk berhadapan dengan arwah korban dan memulai percakapan mendasar sebelum masuk ke intinya.

“Saya di dorong oleh istri saya, kita bertengkar perihal harta warisan,” jelas arwah laki-laki itu.

Angkasa setia mendengar cerita itu, seolah sedang membuka konseling gratis bagi para arwah.

“Kemudian saya terjatuh dan membentur sesuatu, entah itu apa karena setelahnya saya sudah tidak sadarkan diri.”

“Mati tepatnya,” celetuk Arawinda.

Angkasa spontan melotot pada Arawinda setelah mendengar ujaran tidak sopan dari perempuan itu. Sementara sosok yang dituju hanya mengalihkan pandangannya, mengacuhkan Angkasa. Arwah bernama Toni itu pun hanya tersenyum mendengar ucapan Arawinda, perempuan itu tidak salah ia memang sudah mati. Meninggal maksudnya.

Lihat selengkapnya