Visum et Repertum

Tera
Chapter #6

Pasal 292 KUHP

Siang itu lagi-lagi Angkasa disibukkan dengan sebuah kasus baru. Akhir-akhir ini sepertinya sedang marak kasus-kasus yang melibatkan tim forensik di tempatnya bekerja. Dibantu oleh seorang asisten dan juga beberapa mahasiswa koas sedikit meringankan beban di pundaknya. Mungkin sekitar lima persen dari bebannya, setidaknya ia tidak terbebani seratus persen. Kasus kali ini sedikit membuatnya pusing lantaran korban yang telah dilakukan visum awal oleh petugas puskesmas dan telah diputuskan kematiannya, serta korban pun telah dikuburkan oleh keluarganya itu terpaksa harus digali kembali. Ekshumasi[1] dilakukan atas surat yang dikeluarkan oleh kepolisian berdasarkan penyidikan atas laporan orang hilang yang sempat diajukan pihak keluarga korban.

Bertahun-tahun sudah Angkasa bekerja sebagai ahli forensik, namun tidak dapat dipungkiri ia pun sedikit kewalahan ketika berhadapan dengan jenazah yang telah membusuk. Tidak terlebih para mahasiswa koas yang sudah terpencar menjauh ketika jasad korban telah terbaring damai di atas meja autopsi. Kasusnya kali ini adalah seorang anak perempuan berumur sebelas tahun yang dinyatakan hilang pada dua April dan dua hari kemudian korban ditemukan tidak bernyawa setelah diduga menjatuhkan dirinya dengan sengaja ke dalam sumur. Seperti data yang sudah diketahui oleh Angkasa, korban telah divisum awal. Namun, pihak kepolisian melakukan penyidikan lebih dalam lagi berdasarkan laporan orang hilang yang telah dibuat dan menduga adanya tindak kriminal pembunuhan di balik kematian korban. Pada pemeriksaan luar yang dilakukan oleh Angkasa, ia memerintahkan asistennya untuk menuliskan bahwa luka-luka yang ada pada tubuh korban tidak dapat dinilai dan derik[2] tulang tidak teraba di seluruh bagian tubuh.

“Seluruh organ utuh dengan keadaan membusuk,” ucap Angkasa pada asistennya.

Angkasa berpindah ke bagian tubuh lainnya diikuti oleh Semesta yang lagi-lagi diminta menjadi pendamping autopsinya. Ia masih senang dengan Semesta yang tidak banyak mengeluh ketika diminta untuk membantu dan tidak mudah mengeluarkan isi perutnya.

Tanpa menatap Semesta sedikit pun dan masih setia berfokus pada kulit kepala korban yang baru saja dibukanya, Angaksa memberikan perintahnya.

“Semesta, kamu lakukan pemeriksaan mikroskopis. Saya yang akan lanjutkan bagian ini.”

Sementara Semesta melakukan apa yang dimintanya, Angkasa memberikan penilaiannya pada tengkorak korban. Ia sedikit menggeleng setelah mendapati sebuah retakan memanjang di area tengkorak. Selain itu terdapat retak pada tulang tengkorak bagian dalam. Temuan Angkasa itu cukup membuatnya sedikit menggelengkan kepala.


“Dokter, terdapat tanda intravital,[3]” ujar Semesta tiba-tiba.

Angkasa dan Sarah--asistennya-- sama-sama menolehkan kepalanya cepat mengarah pada Semesta yang tengah menyambungkan hasil mikroskopis ke layar yang ada di depannya. Angkasa beralih sebentar memperhatikan mikroskop tadi dan berseru pada Semesta.

 “Ambil apusan vagina dan minta hasil toksikologi segera.”

Angkasa melakukan insisi pada organ paru untuk mengambil sampel jaringan yang kemudian akan dilakukan pemeriksaan diatom[4].

Sementara ia menunggu Semesta melakukan pemeriksaan mikroskopis apusan vagina, Angkasa membaca saksama hasil toksikologi yang ada pada tanah di sekitar makan dan organ tubuh korban. Semuanya negatif arsen dan sianida. Satu-satunya hasil yang positif adalah diatom pada air sumur tempat korban ditemukan tidak bernyawa. Semesta mendekati Angkasa yang tengah sibuk dengan dunianya sendiri dan memberikan hasil potret mikroskopis dari apusan vagina yang diperiksanya tadi.

“Kepala sperma, ya. Persis kata Cummings di Atlas Forensik Cambridge,” gumam Angkasa.

“Wow, apakah dia diperkosa?” timpal Arawinda tiba-tiba.

Sebuah suara yang cukup mengejutkan Angkasa dan membuatnya menoleh tiba-tiba. Lantas membuat atensi para koas dan asistennya tetuju pada dirinya. Malas menanggapi Angkasa mengalihkan pandangnya pada Semesta.

“Hasil jaringan paru udah ada? Tolong bawakan ke saya,” pintanya.

“Huh, dicuekin!” protes Arawinda yang tengah berdiri di samping Angkasa, ikut menatap kertas putih yang sejak tadi digenggam oleh laki-laki itu.

Tanpa menoleh Angkasa sedikit berbisik.

“Diam. Saya lagi kerja kamu jangan bikin saya malu.”

Angkasa menjatuhkan tubuh bagian bawahnya di atas sofa empuk milik kejaksaan. Sengaja ia jauh-jauh dari rumah sakit tempatnya bekerja mendatangi kantor kejaksaan untuk menyerahkan hasil autopsi yang baru saja dilakukannya. Satu hal yang patut diapresiasi oleh orang-orang adalah kegigihan dan kebaikan laki-laki itu dalam hal menegakkan keadilan. Demi menjelaskan proses dan setiap rinci hasil yang tertulis di dalam Visum et Repertum ia dengan senang hati akan langsung menyampaikan kepada jaksa yang bertugas alih-alih menunggu pihak kepolisian yang menyampaikan. Setidaknya hal itulah yang dapat diacungi jempol di samping sifat pemarah dan non-tolerance-nya pada mahasiswa koas.

“Langsung saja, untuk hasil autopsi pada korban terdapat retakan memanjang pada tengkorak korban. Retakan tersebut melintasi tegmen timpani dan mencapai fassa posterior,” jelas Angkasa dengan menunjuk foto-foto yang terlampir di bagian samping dari hasil autopsi.

Angkasa menatap jaksa tadi dengan raut datarnya, menyaksikan ekspresi bingung dari laki-laki di hadapannya.

“Singkatnya ada keretakan di bagian atas telinga tengah hingga bagian belakang otak,” jelas Angkasa yang sedikit menunjukkan bagian yang ia maksud. Sedikit kaku, persis Kanebo kering.

 “Selain itu, pada pemeriksaan jaringan paru tidak ditemukan diatom yang mana berbanding terbalik dengan hasil pemeriksaan air sumur tempat korban ditemukan.”

“… pemeriksaan diatom ini dilakukan untuk menentukan apakah korban meninggal setelah masuk ke dalam air ataukah sebaliknya,” lanjutnya.

Angkasa kembali serius dan menatap jaksa itu lekat-lekat. Jemarinya yang mengapit pena digerakkannya untuk melingkari bagian yang menunjukkan hasil negatif diatom pada jaringan paru korban.

“Hasilnya negatif, maka dari itu korban dipastikan sudah meninggal sebelum masuk ke dalam air. Pada korban yang telah meninggal, maka epiglotis[5] telah menutup dan walaupun korban mencapai ke dasar laut pun tidak akan ditemukan diatom pada organ dalamnya.”

Angkasa meletakkan penanya dan menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa dengan tangannya yang terlipat di depan dada.

“Dari pemeriksaan diatom ini menunjukkan bahwa korban tidak meninggal karena sengaja menjatuhkan diri ke dalam sumur ataupun sengaja ditenggelamkan. Karena, korban meninggal sebelum masuk ke dalam sumur,” terang Angkasa pada jaksa penuntut.

Keheningan cukup menyelimuti dua laki-laki yang sama dewasanya itu. Masing-masing bergelut dengan pemikirannya.

“Selain itu juga, dengan bukti sel sperma yang ada pada apusan vagina mengkonfirmasi bahwa telah terjadi tindakan persetubuhan pada korban. Walaupun, terdapat fraktur pada tengkorak korban, sulit bagi saya untuk menentukan seberapa banyak perdarahan yang terjadi.”

Jaksa tadi menatap Angkasa heran.

“Kenapa begitu, Dok?” tanyanya.

Angkasa mendengkus pelan dan menyatukan jemari-jemarinya.

“Otak adalah organ dengan vaskularisasi[6] yang banyak dan itu menyebabkan otak lebih cepat membusuk. Karena, kondisi tubuh dan otak korban yang telah membusuk itu pulalah yang menjadi penyulit autopsi,” sahutnya.

Angkasa sedikit heran dengan kasusnya kali ini. Mengapa pihak puskesmas yang melakukan visum awal tidak memberikan keterangan maupun rujukan ke bagian forensik di rumah sakit. Selain itu, pihak kepolisian pun baru saja menyadari setelah korban dikebumikan.

Lihat selengkapnya