Angkasa melempar sembarangan handuk bekasnya mandi. Malam itu, dihabiskannya untuk berolahraga. Seperti biasanya, Angkasa jogging setelah selesai bekerja. Sekaligus ia mencari Arawinda yang entah pergi ke mana setelah digodanya beberapa waktu lalu. Lebih dari lima kali putaran Angkasa berlari santai mengitari perumahannya, sambil mengitari sekitarnya, siapa tahu ia menemukan Arawinda. Namun, nihil, ia bahkan tidak melihat sehelai rambut pun dari perempuan itu. Alih-alih menemukan Arawinda, malahan ia nyaris diculik oleh wanita-wanita terlampau cantik penghuni pohon. Bahkan, Angkasa rela duduk menunggu Arawinda di bawah pohon, di tempat ia dan perempuan itu sering berbincang sambil mengistirahatkan tubuhnya ketika berolahraga.
Malam itu, Angkasa pulang sendirian tanpa perempuan centil yang sering mengikutinya.
“Hah?”
Helaan napasnya lolos begitu saja kala ia menjatuhkan diri di atas kasur. Angkasa menutupi setengah wajahnya dan mata yang telah terkatup dengan satu lengannya. Tidak disangkanya kalau Arawinda akan menghilang malam itu, menyisakan ia seorang diri di kamar itu. Biasanya, ada celotehan-celotehan nakal dari Arawinda yang menemani malamnya hingga ia merasuki alam bawah sadar. Kalau diingat-ingat, ia dengan Arawinda sudah tinggal bersama sejak menjalani kepaniteraan klinik. Sudah sangat lama sekali dan sejak itu pula, Arawinda tidak pernah sedikit pun mau menceritakan tentang kehidupannya dahulu, sewaktu ia masih bernyawa.
“Angkasa ….”
Sebuah bisikan berlabuh tepat di telinga kanannya. Angkasa yang merasa dipanggil pun mengangkat lengannya yang menutupi setengah wajahnya itu dan menoleh cepat ke arah sumber suara. Angkasa mendapati Arawinda yang telah berada di posisi tengkurap dengan kedua tangannya menopang wajah. Sementara itu, Arawinda mengedip-ngedipkan matanya jahil sambil memperhatikan Angkasa yang menatapnya cemas.
Angkasa dengan spontan mendudukkan dirinya.
“Kamu ke mana aja?” tanya Angkasa tidak sabaran.
Ia menarik tubuhnya ke bagian kepala ranjang dan menyandarkan punggungnya. Angkasa menghela napasnya pelan, diam-diam bersyukur pelan di dalam hati untuk kembalinya Arawinda.
“Cie, kamu pasti nyariin aku, ‘kan?” goda Arawinda dengan senyuman jahilnya yang mengarah pada Angkasa.
Angkasa yang pada dasarnya memiliki sifat gengsi itu pun, mengubah ekspresi khawatirnya menjadi pura-pura acuh dalam hitungan detik. Ia menyilangkan lengannya di depan dada.
“Saya cuma takut kamu diculik hantu laki-laki yang ada di pohon besar, di depan rumah Pak RT,” sahutnya cuek.
Arawinda kembali mengerucutkan bibirnya tipis. Netranya bertemu dengan manik milik Angkasa, keduanya masuk dalam keheningan masing-masing. Arawinda pun buka suara.
“Ah, sekarang aku bisa sentuh kamu, lho!” serunya senang.
Tangannya terulur menyentuh lengan milik Angkasa yang telah bertengger di depan dada bidang laki-laki itu. Angkasa melebarkan matanya sesaat setelah ia merasakan sentuhan dari Arawinda. Setelah bertahun-tahun hidup berdampingan dengan perempuan itu, ini pertama kalinya Angkasa bisa bersentuhan dengan Arawinda.
“Kamu, kenapa bisa?” tanya Angkasa penasaran.
Ia menarik tubuhnya yang sedang bersandar santai menjadi tegak dan menatap Arawinda penuh tanda tanya. Sementara itu, Arawinda hanya mengedikkan bahunya pertanda tidak tahu. Kemudian perempuan itu membalikkan tubuh dan merebahkan kepalanya di bagian paha Angkasa yang tertutup oleh selimut.
“Akhirnya saya bisa sentuh kamu. Kalau kamu macam-macam, sekarang saya bisa cubit sampai kamu nangis!” ancamnya dengan gurauan yang terselimuti.
Senyum tipis milik Angkasa pun terukir, tangannya perlahan terulur menyentuh helaian rambut milik Arawinda. Samar namun terasa sangat lembut, seolah mahkota yang benar-benar dijaga dan dirawat sepenuh hati. Jangan salah, ini kali pertama Angkasa menyentuh rambut seorang perempuan. Rambut hantu perempuan tepatnya, selain rambut seseorang yang sudah meninggal maupun pasiennya.
“Nda, apa kamu masih enggak mau cerita ke saya?”
Arawinda bergeming dengan kepalanya yang sedikit dimiringkan ke arah Angkasa. Melirik laki-laki itu dari sudut matanya. Arawinda membangunkan tubuhnya dan berpindah posisi berdampingan dengan Angkasa. Perempuan itu duduk tepat di sebelah kanan Angkasa, mengikuti posisi laki-laki itu. Arawinda meluruskan kakinya dan memainkan jemarinya samar-samar. Jemari tangannya mulai bertautan diiringi tatapan lurus dari maniknya.
“Aku akan ceritakan semuanya, tapi dengan sebuah syarat ...”
Lantas Angkasa menolehkan kepalanya menatap ke arah hantu perempuannya. Berharap memperoleh sebuah jawaban.
“Aku mohon agar kamu tidak menyalahkan aku seperti orang-orang dulu dan juga tidak pergi setelah mengetahui cerita kelamku,” mohon Arawinda kepada Angkasa.
Suaranya terdengar lirih. Entah mengapa Angkasa ikut merasakan suasana sedih yang menyelimuti hati Arawinda. Ini pertama kalinya sosok hantu itu menampakkan sisi lain dari sifat cerewet dan blak-blakannya.
“Kalau kamu merasa hal ini terlalu berat untuk diceritakan, it’s okay not to telling me anything, Nda,” tolak Angkasa tersirat.
Arawinda menolehkan kepalanya dan memandang Angkasa. Ia terdiam sejenak dan mengukir senyum setelahnya.
“Udah waktunya aku cerita. Kayaknya kamu harus bantu aku kali ini, biar aku enggak terus-terusan ngikutin kamu,” sahut Arawinda meyakinkan Angkasa.
Lantas ada rasa sedikit sedih di hati Angkasa lantaran Arawinda menginginkan dirinya untuk membantu perempuan itu agar dapat kembali ke alamnya. Tidak ada yang salah dengan permintaan Arawinda, hanya saja rasanya Angkasa sedikit tidak rela berpisah dengan sosok hantu yang sudah menemaninya itu. Angkasa hanya menghela napasnya pelan, entah mengapa ia merasa bingung harus menyikapi dengan hal apa atas permintaan Arawinda itu. Arawinda mulai membuka suara, mengawali ceritanya.
“Sejak aku kecil, orang tuaku adalah sosok yang tegas dalam hal pendidikan. Mereka mendidikku dengan keras. Semua tujuan hidupku sudah diatur sedemikian rupa,” tutur Arawinda.
Seolah menghela napas, perempuan itu melanjutkan ceritanya.