Bintang menutup pintu mobilnya dengan cukup kencang. Helaan napasnya terdengar berat. Disandarkannya punggung lebarnya itu pada jok mobilnya. Diikuti Angkasa yang baru saja memasuki mobil berwarna hitam metalik itu.
Sama lesunya dengan Bintang, Angkasa pun menghela napasnya pasrah. Ia menjatuhkan kepalanya pada dashboard mobil, menyembunyikan wajah kecewanya.
Jauh-jauh mereka dari Bandung menuju Jakarta hanya untuk mendatangi sebuah kantor yang bergerak di bidang jasa dari badan pengusaha jalan tol. Namun, nihil, tidak ada satu informasi pun yang mereka dapatkan.
Padahal, kantor jasa tersebut adalah harapan terakhir mereka. Setelah mendatangi kantor Polri yang ada di Bandung maupun yang ada di Jakarta, mereka berdua tetap saja tidak mendapatkan info sedikit pun. Mereka salah ketika harus menaruh harapan lebih.
Bintang sudah berupaya semaksimal mungkin untuk membantu Angkasa, dengan melakukan koordinasi dengan bagian kepolisian yang berada di bawah bidang pembinaan lalu-lintas itu. Sama halnya dengan arsip visum yang diminta oleh Angkasa di bagian arsip nasional dan juga rumah sakit, arsip kecelakaan itu pun sudah dimusnahkan.
"Kita udah sejauh ini, Sa. Mau gimana lagi, kasusnya udah terlalu lama untuk dibuka lagi," lirih Bintang yang kini sama-sama menjatuhkan kepalanya di atas setir mobil.
"Selain itu, kamu pun enggak jelas kecelakaannya ada di kilometer berapa, kapan kejadiannya, pukul berapa. Kita udah kayak nyari jodoh, tau enggak?" cerca Bintang sedikit kesal, lantaran informasi yang diberikan oleh Angkasa sangatlah minim.
Angkasa mengangkat tubuhnya dan bersandar pada jok. Dengan perasaan kesal Angkasa menarik seat belt dan mendengkus kasar. Sudut matanya melirik spion tengah mobil yang menampakkan sosok Arawinda di belakangnya. Perempuan itu duduk dengan tangan terlipat di depan dada dan wajah yang ditekuk.
Hantu bisa bete juga ternyata, batin Angkasa.
Angkasa kembali menghela napasnya pelan dan menoleh pada Bintang. "Ya sudah, kita balik dulu aja. Buat ke depannya biar saya mikir dulu," kata Angkasa, seolah-olah seorang raja yang memberikan perintah.
Sementara Bintang mengemudikan mobilnya memasuki kawasan tol, Angkasa mencoba untuk berkomunikasi dengan Arawinda. Entah melalui apa, yang pasti ia tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
"Udah aku bilang 'kan, kamu tuh langsung lapor polisi aja!" protes Arawinda.
Angkasa mengalihkan wajahnya, menatap ke arah luar kaca di samping kirinya. Suara Arawinda memenuhi kepalanya, rupanya berkomunikasi dengan Arawinda melalui telepati sedikit menguras energinya lebih banyak, dibandingkan ketika ia berkomunikasi secara langsung.
Kadang Angkasa sendiri pun tidak memahami bagaimana tubuhnya bekerja. Bahkan, ia tidak tahu mengapa dirinya tiba-tiba bisa melihat makhluk-makhluk itu. Dulu, ia pikir Arawinda adalah salah satu perempuan yang mengalami gangguan jiwa, yang secara tiba-tiba masuk ke dalam rumahnya di malam hari.
Lambat laun, Angkasa sadar bahwa perempuan itu bukanlah sosok hidup seperti dirinya. Awalnya sangat sulit untuk beradaptasi dengan penampakan makhluk yang tidak biasa dilihatnya. Sampai akhirnya, ia pun terbiasa dengan kehadiran mereka dan memanfaatkan keadaan tersebut sebagai alternatif lain ketika ia melakukan autopsi.
"Sudah saya bilang juga, kalau saya enggak bisa langsung kasih laporan ke polisi dan langsung menuduh orang lain melakukan kekerasan seksual juga menabrak kamu. Sementara saya enggak punya bukti dan kamu sendiri enggak bisa bersaksi," tukas Angkasa panjang lebar di dalam diamnya.
Bintang melirik Angkasa dari sudut matanya. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh dari teman laki-lakinya itu. Napas yang semakin memburu dan peluh yang tiba-tiba menetes dari ujung pelipis Angkasa, membuat Bintang semakin yakin kalau ada sesuatu yang tidak beres.
"Kamu kenapa, Sa?" tanya Bintang, "kurang dingin?"
Tangannya terulur untuk mengatur AC yang ada pada mobilnya sembari menunggu pertanyaannya dijawab oleh Angkasa.
Sementara itu Angkasa masih saja fokus pada jalanan luar. Semakin jauh mobil yang dikemudikan Bintang itu, entah mengapa ia semakin merasa pusing dan mual. Angkasa bukan sosok yang mudah mabuk darat. Tapi, kali ini ia benar-benar merasa seperti sedang dibawa ombak.
Sejak memasuki kilometer sembilan puluh tadi, Angkasa merasakan kepalanya sangat berat. Pening menghampirinya. Ada penggalan-penggalan memori yang tiba-tiba menghampirinya, tapi memori tentang apa?
Angkasa menjatuhkan kepalanya pada dashboard mobil, dengan lengan kirinya yang menjadi bantalan. Sementara itu, tangan kanannya menekan-nekan pelan pangkal hidungnya.
Bintang yang melihat keanehan Angkasa itu pun dibuat panik sendiri. Fokus mengemudinya pecah, lantaran Angkasa yang secara tiba-tiba bertingkah tidak biasa itu.
"Are you okay, Sa?" tanyanya.
Masih fokus dengan jalanan di depannya, Bintang sesekali melirik cemas pada Angkasa. Tangan kirinya terulur untuk menyentuh pundak milik Angkasa.
"I'm okay. Fokus aja," sahut Angkasa pelan.
Laki-laki itu menarik tubuhnya kembali dan bersandar dengan mata yang terpejam erat. Satu tangannya masih setia memijat pangkal hidungnya, berharap dapat menghilangkan pening yang menyerangnya.
Angkasa diselimuti rasa bingung kali ini. Lantaran ada penggalan-penggalan kejadian yang bahkan ia sendiri tidak ingat pernah mengalaminya. Penjepit rambut berwarna hijau dan juga kemeja marun dengan sebuah pita menghias di area leher. Dua potret yang benar-benar menghantuinya kali ini.
Keduanya pun sama-sama berlumur darah.
Visum et Repertum
Bintang merebahkan diri pada sofa kamarnya. Pikirannya berkelana, masih sama seperti terakhir kali ia mendengarkan sebuah kisah dari Angkasa. Kisah yang membawanya ikut berpartisipasi dalam kerumitan temannya itu.
"Arawinda ...," gumamnya sendiri.
Jarinya menjentik berulang kali, dengan alis yang saling bertautan. Mencoba mengingat di mana ia pernah mendengar nama itu. Rasanya seperti tidak asing.
"Siapa ... Arawinda?"
Bintang lantas menarik tubuhnya bangun dan menuju meja kerjanya. Membuka cepat laptop berlogokan buah itu. Jemarinya menari indah mengetikan sebuah kata di mesin pencarian pintar yang terhubung dengan internet.
Dua jarinya bergerak lincah di atas mouse pad dan menggulirkan scrollbar yang ada pada halaman pencarian. Lama berselancar di dunia maya, Bintang sedikit kesulitan mendapatkan info perihal nama perempuan yang diceritakan oleh Angkasa itu.
Namun, nihil, Bintang tidak mendapatkan informasi sedikit pun mengenai nama tersebut. Bahkan, kasus kecelakaan yang dibicarakan oleh Angkasa pun tidak ada jejaknya sedikit pun.
Bintang belum pernah bertemu dengan kasus seperti ini selama ia berkecimpung di dunia hukum. Ada beberapa kemungkinan yang terlintas di dalam benaknya.
Bintang menepis kuat kemungkinan-kemungkinan yang muncul di benaknya itu.
Ia merasa berdosa jika terus memikirkan kemungkinan yang secara tiba-tiba terbesit di kepalanya.
Tunggu ... Bintang menghentikan pergerakannya. Ia menjentikkan jarinya cepat dan membuka situs resmi kampusnya.