"Berapa lama lagi kamu mau tinggal di sini, Angkasa?"
Suara bariton dari pria dewasa yang baru saja berkunjung tadi, memecahkan keheningan di malam itu. Angkasa kembali dari dapurnya, setelah mengambilkan beberapa camilan dan juga air untuk kedua orang tuanya.
Tatapan sendu dari perempuan berambut sebahu, yang tengah duduk manis di samping pria dewasa tadi menembus netra milik Angkasa. Ada kerinduan yang tersirat dari tatapannya.
Angkasa meletakkan cangkir putih berisikan kopi di atas meja tamunya. "Ya ... sampai nanti, Pa," katanya menyahut dan mendudukkan dirinya pada sofa, tepat di seberang papanya.
Pria dewasa yang berprofesi sebagai dokter spesialis bedah dan bernama lengkap Anton Utama itu pun menghela napasnya berat. Anton yang diketahui sebagai papa dari Angkasa itu pun tidak hanya menyandang gelar dokter spesialis, tetapi juga bergelar sarjana hukum.
Tatapannya menajam ketika mendengar sahutan Angkasa. Lantas Anton menaikkan kaki kanannya dan bertumpu pada kaki kirinya.
"Sudah berapa kali Papa bilang, berhenti saja di bagian forensik dan bergabung ke partai," perintahnya.
Sebagai Wakil Ketua Komisi Sembilan DPR RI, Anton sangat mengharapkan Angkasa untuk dapat mengikuti jejaknya yang tidak hanya meniti karier di dunia kedokteran. Anton berharap kalau Angkasa dapat terbuka terhadap politik dan ikut menjadi perwakilan rakyat seperti dirinya.
Bukan hanya Anton yang mengharapkan Angkasa untuk bergabung dengannya. Windi —mamanya— pun ikut mengharapkan Angkasa bergabung dengan mereka.
"Kalau tidak, minimal kamu ikut seperti Mamamulah, Angkasa. Apa susahnya untuk menurut?" lanjut Anton menekan.
Angkasa yang sudah hafal betul bagaimana tabiat papanya, hanya mendengkus malas. Seperti layaknya seorang mahasiswa, ia pun bisa bersikap acuh dengan ucapan orang lain. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.
"Lagian, Mama mending balik ke rumah sakit jiwa. Musim ini lagi banyak orang-orang yang butuh bantuan psikiater."
Angkasa menyesap kopinya. "Ah, atau mau tunggu sampai pemilu yang akan datang? Ya, akan lebih banyak pasiennya, sih ...," katanya dan menaruh kembali cangkirnya.
"... mungkin Papa selanjutnya," lanjut Angkasa dengan sedikit menarik ujung bibirnya.
Anton yang mendengar penuturan tidak sopan dari Angkasa pun, mengangkat wajahnya. Tampak kemarahan menghias wajah yang telah dihias kerutan-kerutan tipis di ujung matanya. "Angkasa!" teriaknya tertahan.
Kalau saja ia tidak mengingat pukul berapa sekarang, mungkin Anton akan mengeluarkan seluruh amarahnya.
Sementara Anton yang terbakar amarah, Windi justru tersenyum tipis akan ucapan Angkasa. Ia menahan lengan milik Anton, agar pria dewasa itu sadar kalau dirinya tidak berhak marah atas opini orang lain.
"Untuk apa ikut partai kayak Papa? Angkasa sekolah kedokteran untuk jadi dokter dan bukan untuk jadi politikus," tentangnya.
Anton memijit pangkal hidungnya pelan, lantaran Angkasa yang semakin bertambah usia itu semakin menjadi pembangkang.
"Mau jadi apa kamu lama-lama berkutat dengan bagian forensik? Kelamaan di kamar autopsi sekalian aja kamu pakai parfum formalin!" tegas Anton pada Angkasa.
Laki-laki dengan gelar spesialis forensik itu pun menautkan alisnya rapat, lantaran sebuah pertanyaan tidak masuk akal yang keluar dari mulut papanya itu. "Mau jadi apa? Ya, jadi spesialis forensik dan Angkasa udah jadi sosok itu saat ini, kalau Papa lupa," sahutnya.
"Angkasa, yang sopan sama Papa," sela Windi pelan.
Sosok Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa yang bekerja langsung di bawah Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit bagian dari Kementerian Kesehatan itu adalah sosok yang sangat dihormati oleh Angkasa. Ia mungkin bisa bersikap kurang ajar pada papanya, tetapi akan sulit bagi Angkasa untuk tidak menghormati mamanya.
Lantas Angkasa hanya menggumam malas setelah mendapati teguran halus dari mamanya itu.
"Orang sibuk kayak Papa dan Mama ini memang ada masalah apa sampai mau jauh-jauh ke Bandung buat temui Angkasa?" tanyanya.
Windi melirik cemas pada Anton. Seolah ada sesuatu yang tengah ia dan Anton sembunyikan perihal kedatangan dirinya dan suaminya itu. Windi berdehem pelan dan menautkan kesepuluh jarinya.
"Dengarkan Mama dan tolong jangan diputus sampai Mama selesai berbicara, mengerti?" pinta Windi pada Angkasa.
Angkasa hanya merespons seadanya dengan menggerakkan alisnya. Ia menyandarkan punggungnya pada sofa dan menunggu cerita dari Windi.
Anton lantas mengeluarkan sebuah berkas berwarna hitam dengan kop sebuah instansi di atasnya. Belum sempat Windi memulai ceritanya, Anton sudah lebih dahulu menyela.
"Itu berkas perkara milik Albert, anak dari salah satu anggota komisi tiga," ucap Anton tegas.
Angkasa menarik bagian bawah dari berkas tersebut dan mengangkatnya. Dibukanya perlahan sebuah amplop berwarna putih yang bertuliskan sebuah instansi kesehatan itu dan dipelajarinya.
Laki-laki itu mengangkat wajahnya dan menatap heran pada Anton. "Hasil visum?" cicit Angkasa setelah membaca setengah dari berkas tadi.
Anton menaruh kembali cangkirnya, dengan gerakan pelan ia menarik tissue yang ada di atas meja. Mengusap pelan bagian sisi bibirnya.
"Perbaiki isinya dan ganti dokter yang bertanggung jawab atas hasil visum tersebut menjadi kamu," perintah Anton santai.
Angkasa lantas tertawa pelan setelah mendengar permintaan konyol papanya itu. "Maksudnya, Angkasa harus buat hasil visum ini jadi sesuatu yang bertentangan dengan faktanya?" tanya Angkasa mencoba untuk memperjelas hal yang dipinta sang papa.
"Bantu Albert dan jadilah saksi di persidangan tersebut. Bahwa tidak ada bentuk kekerasan maupun pelecehan yang ia lakukan. Papa sudah janji untuk membantunya," lanjut Anton masih sama pada pendiriannya untuk membujuk Angkasa.
Angkasa menghempaskan berkas yang dipegangnya tadi kembali ke atas meja. Alisnya bertaut rapat, ada sedikit emosi yang terpancar dari caranya memperlakukan berkas tadi. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan papanya itu. Sosok laki-laki yang dulu sangat dikaguminya itu berubah ratusan derajat, setelah sosok itu mendapatkan jabatan yang jauh lebih tinggi sebagai perwakilan rakyat.
Angkasa menggeleng pelan dengan menatap orang tuanya bergantian. "Enggak. Papa benar-benar enggak waras," lontar Angkasa sembarangan.
"Angkasa ...," tegur Windi.
"Enggak, Ma. Korban punya hak restitusi dan kompensasi atas apa yang menimpanya. Kompensasi dan restitusi yang bersifat pidana," tolak Angkasa mentah-mentah.