Manusia mudah menghakimi sesamanya.
Menguliti hal-hal pribadi, sampai mencaci.
Tanpa pernah tahu, jika orang yang dihakimi belum tentu bisa kembali bangkit berdiri.
⊱ ────── {.⋅ ♫ ⋅.} ───── ⊰
Perkiraan Aris ternyata tak meleset jauh. Aily sudah menemukan studio Kreativitas Anak Bangsa hanya dalam waktu dua puluh menit saja.
Gadis itu melepas masker yang menutupi wajahnya. Bukan karena malu, tapi Aily selalu memakainya karena tak tahan menghirup asap rokok dari supir dan kernet bus.
"Aduh, rokok di bis Jakarta memang nggak tahu aturan!" keluh Aily. Tangannya yang menggenggam kipas kecil bergerak-gerak mengusir sisa asap yang masih tercium.
Aily masih tak percaya jika studio dubbing idamannya berjarak begini dekat. Bagai mimpi, kini ia sudah berdiri di hadapan sebuah rumah tingkat dua yang cukup besar, tanpa plang nama sama sekali. Orang-orang pasti tidak menyangka kalau rumah besar di dalam komplek perumahan ini—yang mana rumah-rumah lainnya juga tidak kalah besar—adalah sebuah studio dubbing.
Pagar cokelat tua dengan ornamen keemasan setinggi hampir dua setengah meter terlihat menjulang. Celah-celah antarpagar ditutupi dengan plastik Aily tebal berwarna putih yang membuat siapa pun tidak bisa melihat ke dalam. Desain rumah terlihat begitu elegan dan terkesan mewah. Sungguh tidak seperti sebuah studio dubbing.
"Walah, besar sekali rumahnya!" Aily terbelalak menatap ke atas. Gadis itu membuka tas untuk meletakkan kipas dan mengambil kertas minyak. Perlahan ia menyapukan selembar ke wajah beberapa kali sebelum membuangnya ke tempat sampah.
Aily menghela napas berusaha menenangkan diri. Gadis itu menepuk pipinya beberapa kali untuk memberi semangat. "Oke, semua siap! Saatnya menelepon."
Ada salam terdengar di telepon. "Wa’alaikumsalam, Kak. Aily sudah di bawah," ujarnya malu-malu.
Tak lama setelah telepon ditutup, pintu gerbang terbuka sedikit.
"Selamat datang, Aily!"
Suara rendah berwibawa menyapa Aily yang masih terpesona. Toro sudah berdiri di hadapannya. Aily mendongak sedikit mengamati paras idolanya. Ia tidak pernah menyangka, dubber kesayangannya cukup tampan. Jauh lebih tampan dari satu-satunya foto yang terpasang sebagai foto profil sosial medianya.
Sudah prinsip Aily untuk tidak membayangkan wajah dubber hanya berdasarkan suara saja. Pria itu memiliki rambut hitam berponi panjang yang menutup sebagian alis kirinya, hidung lumayan mancung—meski sedikit lebar—dengan bibir tipis dan kulit sawo matang. Aily terpesona.
"Maaf mengganggu, Kak." Aily mengangguk sedikit.
"Yuk, masuk!" ajak Toro sembari menggeser tubuhnya ke dalam supaya Aily bisa masuk.
Ada tangga yang langsung membawa mereka naik ke lantai dua tanpa harus melintasi ruang tamu. Aily terkejut tatkala melihat ada jalan lagi ke atas. Ternyata rumah ini memiliki tiga lantai meski hanya terlihat dua tingkat dari jalan.
"Selamat datang di KAB Studio!" Toro tersenyum ramah kala keduanya sudah tiba di ruang tunggu.
Aily terbelalak. Tampak sofa cokelat panjang berbentuk huruf L memenuhi sudut ruangan. Di depannya ada meja kaca panjang dengan banyak kertas berserak tidak beraturan. Dua cangkir berisi kopi—yang sudah setengah habis—menimpa kertas-kertas itu.
Dua jendela besar dengan tirai yang disingkirkan ke tepi, membawa banyak cahaya ke dalam ruangan. Pintu ke arah beranda juga terbuka lebar. Suasananya terasa begitu cerah dan segar. Namun, Aily melihat benda yang paling tidak ingin dilihat. Satu kotak rokok dan asbaknya!
Aily langsung melirik ke sekeliling. Gadis itu tidak mencium aroma asap rokok dan juga tak melihat ada orang lain di sini kecuali Toro. Aily menarik napas penuh ketegangan. Ia benar-benar tak berharap Toro termasuk golongan perokok.
"Kakak senang akhirnya bisa ketemu kamu." Toro membuka pembicaraan saat mereka sudah duduk di sofa tepat pukul setengah sepuluh.
Aily memandang Toro nyaris tak percaya.
"Terima kasih sudah begitu peduli pada sulih suara Indonesia." Senyum begitu tulus tersemat di wajah Toro.
Aily mengangguk malu-malu. "Aily juga senang, Kak."
Meskipun awalnya ragu, Aily akhirnya mulai banyak bicara. Toro sangat pandai memancing obrolan. Selama satu jam mereka berbincang seru. Aily bersyukur memberikan alamat surel di situs web dubber yang dikelola sehingga Toro bisa menghubunginya. Pria bersuara rendah itu tipe yang malas berkirim surel dan langsung meminta nomor ponsel Aily.