Voice in Dream

Shireishou
Chapter #4

BAB 3 - Permulaan

Ada penyesalan yang lebih menyakitkan dari kegagalan. Penyesalah karena tidak pernah mencoba.


⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰


"Enggak mungkiiin!!" jerit Aily tertahan setelah beberapa detik menjeda. Gadis itu berusaha keras untuk tidak berteriak, meskipun sebenarnya proses rekaman sudah selesai tepat saat Richie mengajukan pertanyaan.

Firman sendiri sibuk menyimpan dan mempersiapkan track rekaman berikutnya. Ia tak begitu memedulikan pembicaraan Richie dan Aily yang berdiri di belakangnya.

"Nanti kalau hancur gimana? Kalau tiba-tiba suaranya datar dan nggak ada ekspresinya, terus satu film rusak berantakan gara-gara gue gimana? Kalau ketahuan sama temen-temen terus diketawain seumur hidup gimana?" Aily berulang kali bergumam penuh kekawatiran.

Tawa Richie meledak. "Lo lucu!" Mata bulan sabitnya semakin menyipit. "Sebenernya lo mau, tapi malu!"

"Ada apa? Heboh banget ketawanya?" Toro yang sudah keluar dari ruang rekam kini memandang keduanya sambil ikut tertawa, memperlihatkan deretan gigi yang berjajar dengan rapi.

Richie mulai bisa mengontrol tawanya. Akan tetapi bibir tipisnya tetap membentuk lengkungan ke atas yang memukau. "Tuh, gue nawarin Aily buat take sekali. Itu lho, peran pelayan yang cuma sekali lewat."

"Ide bagus!" Toro tampak antusias. "Cuma dua kalimat, kok! Lagian, belum ada yang akan take sampai Mbak Hana datang. Kalau Mas Firman nggak keberatan, Aily bisa coba."

"Gimana, Mas?" Richie menoleh ke arah Firman.

"Ini yang bikin website tentang dubber itu lho, Mas." Toro setengah membujuk.

Firman tersenyum ke arah ketiganya. "Iya, boleh."

Richie terlihat senang. "Thanks, Mas!"

Firman hanya mengangguk dan kembali memutar kursinya menghadap monitor. Membuka fail video baru untuk rekaman Aily.

"Tapi enggak dibayar, ya!" Richie kembali tertawa.

Aily tak menjawab karena begitu gugup. Wajah gadis itu memucat. Aily bisa merasakan tangannya mulai mengebas dan dingin. Apalagi AC menjaga suhu hampir seperti ruang penyimpanan daging, agar alat-alat elektronik di dalamnya awet.

Toro mengangsurkan naskah yang sedari tadi dipegangnya. Aily menerimanya dengan hati-hati. Gadis itu tak bisa menyembunyikan tangannya yang bergetar.

"Aily kedinginan?" Toro memandang pendingin ruangan yang anginnya kebetulan mengarah kepada perempuan itu.

Aily menggeleng. "Grogi, Kak," bisiknya lirih.

Toro meletakkan naskahnya ke atas meja kecil. Pemuda keturunan Jawa Tengah itu mengangkat kedua telapak tangannya mendekati mulut dan meniupkan napas hangat beberapa kali. Tak lama kemudian, Toro menggenggam Aily dengan lembut dan mulai menggosokkan tangannya dengan hati-hati. Gesekan itu menciptakan rasa hangat yang menenangkan.

"Jangan terlalu dipikirin. Santai aja, ya!" Toro akhirnya melepas genggamannya.

Toro tak terlalu memerhatikan wajah Aily yang bertambah merah karena malu. Richie menepuk punggung Aily dan langsung mengajak gadis itu keluar ruangan.

"Nah, angetan di sini kan?" Richie berdiri di koridor. Udara memang terasa jauh lebih hangat tanpa ada angin dari pendingin ruangan yang menyapa.

"Terima kasih," Aily tersenyum malu-malu.

Toro mengangsurkan kembali naskahnya. "Dibaca aja dulu."

Aily membacanya baik-baik. Sederhana. Hanya dua kalimat saja. Tentang seorang pelayan restoran yang menanyakan pesanan kepada tamunya.

"Selamat datang di Clover Latte. Mau pesan apa?" gumam Aily.

Kembali Richie menepuk pundak Aily. "Udah, nggak usah tegang. Lagian nggak dibayar kok," candanya lagi.

Lihat selengkapnya