Ada jerat yang mengikat erat langkah. Ketakutan akan kegagalan.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
"Mas, Mbak Hana sudah datang." Suara Richie terdengar samar kala dia berbicara dua langkah di belakang Firman.
"Anu, Aily," Firman berkata dengan hati-hati. "Tampaknya peran ini kurang cocok untukmu...." Kalimatnya seperti tertahan.
Aily bisa merasakan penekanan kata kurang begitu menyayat hatinya. Dia tahu betul kalau itu sebenarnya adalah penghalusan dari kata kamu tidak mampu memainkan peran itu!
"Saya mengerti." Aily melepasheadsetdengan lunglai dan mengembalikan naskahnya.
"Yuk!" Toro berusaha tersenyum menenangkan Aily kala mengajaknya keluar ruangan.
"Maaf merepotkan, Pak," ujar Aily kala sudah berada di ruang mixing. "Terima kasih sudah diizinkan," lanjutnya lirih.
Richie terlihat duduk di sofa kecil sembari membaca naskah. Sesekali matanya melirik ke arah Aily. Pemuda itu tampak mengkhawatirkan teman barunya. Secara tidak langsung, idenyalah yang sudah membuat Aily mengalami hal tidak mengenakkan tadi.
"Sama-sama." Firman menjawab singkat. Kemudian dia menoleh ke arah Toro, "Take Destination Space dulu, Ro!"
"Oh, oke." Toro sempat terkejut. "Aily tunggu di bawah aja, ya! Soalnya yang ini bakalan lumayan lama."
Aily terlihat canggung. "Ba-baik, Kak. Permisi."
Dengan gontai, Aily melangkah turun ke ruang tunggu. Tampak seorang wanita berumur tiga puluhan tengah duduk santai menyesap teh hangat yang masih mengepulkan asap.
Aily menganggukkan kepala, "Selamat siang."
"Oh!" Sang Wanita mendongak. "Selamat siang. Dubber baru?" tanyanya, ramah.
"Ah, bukan Kak Hana. Saya hanya penggemar dubbing. Nama saya Aily." Gadis itu berusaha tersenyum.
Hana tampak terkejut, "Kok tau namaku?"
"Suara Kakak pas jadi Naruto khas soalnya." Lagi-lagi Aily tersenyum tipis. Hatinya masih terpukul akibat kejadian tadi.
"Mbak, dipanggil Mas Firman buat take Destination Space." Suara Richie tiba-tiba terdengar. Pemuda berambut merah itu sudah berdiri di belakang Aily.
"Oke." Hana meletakkan cangkir tehnya dan mengangguk ke arah Aily sebelum naik.
Aily mengenyakkan tubuhnya ke sofa seiring debasan yang terdengar.
"Mau?" Richie mengangsurkan sepiring donat yang tersaji di atas meja.
"Er, itu donat yang gue bawa tadi. Cuma kayaknya udah dipindah ke piring sama Kak Hana." Aily mengangkat alisnya sedikit.
"Habis muka lo suram banget! Kan katanya perempuan kalau muram, obatnya makan!" Richie nyengir.
Aily bengong menatap Richie yang berusaha menghibur dengan cara yang menurutnya aneh. Namun, perempuan itu tertawa. "Iya deh, gue makan donatnya. Lo juga makan, ya!" Aily mengambil sebuah donat dan langsung menjejalkan setengah potong ke dalam mulutnya.
Richie juga mengambil sebuah dan memakannya dengan cepat. Tak lama berselang, pemuda itu membawa dua buah gelas air putih lalu diletakkan di meja.
Aily tertunduk dan memainkan jemarinya perlahan. "A-anu, terima kasih."
Richie hanya tersenyum. Ia sadar kalau Aily belum sepenuhnya bisa menghilangkan beban di hatinya. Gadis itu masih menunduk dan memain-mainkan ujung bajunya.
"Dubbing ternyata jauh lebih sulit dari yang gue kira." Kemudian Aily tampak terkejut pada kalimat yang diucapkannya sendiri. "Eh, maksud gue, bukan berarti selama ini gue ngegampangin dubbing! Gue tahu dubbing itu susah, hanya saja ... lo ngerti maksud gue kan?"
Aily menatap Richie yang masih tak memberikan reaksi apa pun kecuali mendengarkan keluhan Aily dengan serius.
"Gue cuma nggak nyangka sebegitu susahnya kalau nyoba sendiri." Pandangannya kembali murung. "Padahal, kalau gue main dubbing-dubbing-an di rumah, kayaknya baik-baik aja."