Kadang, sakit membuat kita menyadari betapa berharganya kesehatan yang biasa kita abaikan.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
"Eh? Aily tidak bisa ngelesin?" Suara pemuda di seberang saluran telepon terdengar. Ada desir perih tak terjelaskan menjalar di batinnya. Apa Aily menghindarinya?
Bunda membenarkan. "Saya bicara dengan siapa?"
Sari memang tahu nomor ponsel Risa, akan tetapi wanita paruh baya itu memilih menghubungi nomor telepon rumahnya. Sari merasa, akan lebih baik jika ia bisa berbicara dengan ibu Risa secara langsung. Dia berharap ada kesan baik tercipta dengan meyakinkan orang tua Risa, bahwa Aily benar-benar sakit. Bukan sekadar alasan untuk membolos dari tanggung jawabnya.
"Aris. Saya kakaknya Risa."
"Oh, ibunya ada?"
Aris ingin mengetahui kabar tentang Aily. Lagi pula, memang kebetulan ibunya baru saja keluar untuk mengikuti arisan RT.
"Mami baru saja pergi arisan, Tante."
"Ah ..." Terdengar sedikit nada kecewa dari Sari. Namun, wanita paruh baya itu melanjutkan penjelasannya. "Begini, Nak Aris, Aily sedang demam dan tenggorokannya sakit. Kayaknya nggak bisa mengajar. Bicara aja susah."
Sari memindahkan gagang teleponnya ke telinga kiri. "Bisa tolong sampaikan kepada Ibu permintaan maaf dari Aily dan Tante?"
Aris terenyak. Apa sebegitu seriuskah penyakit Aily sampai ibunya yang harus menelepon dan memintakan izin?
"Apa penyakitnya parah, Tante?" tanya Aris dengan hati-hati.
"Sudah membaik. Tapi, Aily masih belum bisa ngomong."
Aris menghela napas lega. "Soal les tidak masalah, Tante. Nanti saya sampaikan ke Mami. Saya hanya mengkhawatirkan Aily."
Tiba-tiba Sari tersenyum senang. Ada seorang pria yang mengkhawatirkan anak sulungnya? Tampaknya menyenangkan. "Wah, terima kasih sudah mengkhawatirkan Aily. Ngomong-ngomong Nak Aris memangnya umur berapa?"
Aris sempat terdiam karena terkejut. Apakah ibunya Aily penasaran dengan dirinya?
"Eh? Hm ... 25, Tante. Ada apakah?"
Sari tampak senang. "Oh, enggak apa-apa. Tante cuma ingin tahu aja." Ada tawa lembut mengiringi. "Baiklah, Nak Aris, Tante cukupkan dulu. Terima kasih!"
"Sama-sama, Tante."
Sambungan telepon ditutup menyisakan kegamangan di pikiran Aris. Pemuda berkacamata itu ingat betul dirinya sudah menyadari tubuh Aily terasa hangat sejak pertengkarannya Jumat kemarin, tetapi ia terlalu takut untuk sekadar menelepon atau mengirim WhatsApp menanyakan kabar gadis itu.
Aris berjalan memasuki kamarnya yang ditata begitu minimalis. Tidak ada hiasan berarti di dalam sini. Hanya seperangkat komputer yang kini membisu di sudut ruangan.
Direbahkan tubuhnya ke atas kasur. Pandangannya kosong menentang langit-langit kamar. Aris begitu khawatir kepada Aily. Ia takut gadis kesayangannya itu mengalami sesuatu yang berbahaya. Penyakit yang lebih serius dari sekadar radang tenggorokan biasa.
Decakan bibir menandai pergerakan tubuh Aris saat miring ke arah kanan. Dia ingin mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang semakin menggelayuti kepala. Semakin ia berusaha menyingkirkannya, semakin kuat pula pikiran buruk itu berdatangan silih berganti.
Aris menyesali tindakan bodohnya. Seandainya kemarin ia tak begitu dungu untuk cemburu buta dan marah-marah tanpa berpikir jernih, mungkin sekarang dia sudah bisa naik motor secepat mungkin untuk menengok Aily.
Ia sebenarnya juga tak percaya akan apa yang telah dilakukannya kemarin. Jika ditelaah dengan kepala dingin, Richie pun tak mungkin berbuat macam-macam. Kamera CCTV dan ruangan yang tidak boleh dikunci dari dalam, jelas merupakan dua hal yang bisa mencegah siapa pun berniat tidak senonoh. Apalagi Richie tahu, dirinya tengah mengawasinya.
Ah, Aris merasa dirinya begitu bebal. Kenapa untuk urusan yang satu itu, dirinya tidak mampu berpikir sejernih biasanya? Padahal, di usianya yang relatif muda, ia sudah bisa membangun kafe sendiri meski tidak terlalu besar. Aris selalu membanggakan kemampuannya dalam mengatur segala hal. Ia tak pernah menyangka, menata hati karena cinta ternyata tak semudah menata kafenya.