Hal sederhana yang sering kita lupa adalah meminta maaf jika memang ada salah terasa mengganjal di dada.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
Aily membulatkan tekad untuk jujur tentang alasannya jatuh sakit. Namun, dia berharap Aris akan merahasiakannya dari siapa pun.
"Iya. Aku nggak akan bilang siapa-siapa." Aris memberi persetujuan meski dengan keheranan.
"Aku alergi rokok."
"Kamu ngerokok?" Aris terbelalak kaget.
Aily berdecak. "Tuh, kan, ngawur lagi." Gadis itu tertawa melihat wajah Aris yang kini seperti orang bengong yang siap menabrak tiang kapan saja seandainya sedang berjalan. Cukup terlihat lucu dan menggemaskan.
Aily akhirnya melanjutkan kalimatnya saat melihat Aris masih bergeming seraya tetap membuka mulutnya penuh keterkejutan. "Aku alergi asap rokok. Di studio dubbing ternyata banyak yang merokok."
Aris mengerjapkan matanya berusaha menyadarkan diri dari rasa kagetnya. "Richie dan Toro merokok juga?"
Gelengan Aily menjawab. "Sepanjang kami ketemu, aku belum pernah ngeliat mereka merokok. Semoga aja enggak."
Aris mengangguk. "Syukurlah kalau begitu."
Tiba-tiba Aris terenyak. "Susah dong nanti? Apalagi alergi rokok, kan, bukan sesuatu yang bisa dikalahkan hanya dengan menggunakan obat antialergi semacam incidal?"
"Itu dia, Kak," Aily terlihat sedih. "Mau tidak mau, aku yang harus beradaptasi dengan asap rokok. "
"Mana mungkin bisa! Itu nyiksa diri namanya!" Aris terlihat cemas.
Aily mengangkat bahunya. "Aku juga nggak yakin, Kak. Tapi, mau bagaimana lagi? Rokok kayaknya udah hal biasa di studio. Bukan hal aneh kalau ruang tunggu penuh asap rokok. "
"Apa tidak ada ruangan khusus merokok?"
"Itu kayaknya memang ruang khusus merokok. Soalnya, ruangannya terbuka lebar dengan akses udara yang longgar. Tapi, tetap aja, Kak. Hidung dan tenggorokan ini sensitif banget. Baru sebentar udah kayak gini."
"Apa kamu yakin masih tetap mau maju?" Ah, Aris segera tersadar dengan ucapannya. "Maksudku, bukan aku menentangmu, tapi kalau kamu sakit kayak gini, aku juga jadi nggak tega liatnya."
Aily tersenyum. "Aku nggak apa-apa kok, Kak. Serius!" Aily mengepalkan tangan seolah memberi semangat pada dirinya sendiri. "Lama-kelamaan, aku pasti bisa beradaptasi."
Aris terdiam. Lensa mata berwarna cokelat itu menatap Aily dengan perasaan berduka. Ia bisa mengerti bagaimana Aily sungguh-sungguh mengejar cita-citanya. Namun, bukankah itu sama dengan menyiksa diri sendiri? Menyakiti tubuhnya sendiri? Bukankah Aily akan menjadi perokok pasif yang justru bahayanya lebih parah daripada perokok aktif?
Membayangkan Aily harus melewati hari dengan demam tinggi atau suara hilang karena asap rokok, menimbulkan nyeri tersendiri di dalam hatinya.
Kali ini Aris memilih menelan kembali semua pendapatnya. Ia sudah mendapatkan maaf dari Aily dan untuk sementara, ia akan menekan semua keinginannya untuk melindungi gadis itu. Niatan yang mungkin dirasa berlebihan bagi beberapa orang.
"Lalu, gimana casting kemarin?"
Aily menceritakan semuanya. Termasuk soal bagaimana akhirnya ia bisa men-dubbing bersama idolanya.
Aris tersenyum senang. Dia benar-benar berterima kasih kepada Firman yang mungkin sudah mengembalikan mood Aily. Bisa jadi, itu juga yang membuat Aily lebih mudah memaafkan kesalahannya. Pria itu sesekali mengomentari cerita Aily dengan antusias. Aily kini tak lagi ragu menatap matanya. Aris merasa lega.