Ada satu tempat istimewa di hatinya jika ada rahasia diperdengarkan kepadamu diam-diam.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
Kala itu, Aris memberanikan diri untuk meminta restu kepada kedua orang tuanya untuk membuka kedai kopi karena dianggap lebih memungkinkan daripada membuka pabrik. Maminya yang pertama kali menolak dengan tegas.
Mami merasa, Aris akan lebih maju jika bekerja sesuai jurusannya. Bekerja di pabrik, atau menjadi manajer di sebuah perusahaan elite seperti papinya, daripada harus susah payah berwirausaha.
Aris tak patah arang, dia tetap menyerahkan bussines plan yang telah ia buat dengan baik, termasuk cara mendapat pinjaman modal untuk sewa kedai, membeli peralatan membuat kopi, dan lain-lain. Namun, Mami tetap menolak.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
"Aku nggak bisa maksain kehendakku kepada Mami. Kamu ngerti, kan? Rasanya perih kalau melihat Mami sedih." Aris menelan air liurnya. Jakunnya naik-turun seolah berusaha menelan semua kenyataan pahit yang pernah dilaluinya.
Aily mengangguk penuh pengertian. "Ngerti banget, Kak."
Aris menghela napas. "Itu sebabnya, aku memilih diam-diam les barista."
"Ada?"
"Ada. Cuma empat hari sih. Semacam pengenalan gitu. Tapi, mereka juga buka sesi konsultasi."
Aily takjub. "Terus, Kakak langsung buka kafe?"
Aris terpingkal. "Mana mungkin! Enggak sesakti itu juga, kali! Aku bukan Bruce Wayne atau Tony Stark yang sekali jentikin jari, satu pulau kebeli.”
Aily mengangkat bahunya sambil tertawa. Memamerkan deretan gigi putihnya yang besar dan rapat. "Ya, kali aja!"
"Shibuya Corner Cafe baru akan berulang tahun kedua, tiga bulan lagi. Masih sangat muda. Sementara aku berniat bikin kafe sejak umur dua puluh. Itu artinya apa?"
"Kak Aris, ngambek dulu tiga tahun?" canda Aily sambil menjulurkan lidah.
"Kamu tuh, yaaaaa!" Aris mencubit pelan hidung Aily gemas. Ada ekspresi ceria yang melihat Aily ikut tertawa bersamanya.
"Aku melakukan persiapan setahun penuh. Les masak, ikut les manajemen bisnis, juga semua les yang mendukung pembuatan kafeku."
"Apa ortu Kakak nggak tahu?"
Aris menggeleng. "Semua aku rahasiakan. Hingga hari itu tiba."
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
Hari itu tidak akan dilupakan Aris. Satu paket besar tiba, saat matahari tepat berada di atas kepala. Proses pembelian “Paket Dasar II” selesai sudah. Tempat kursus barista yang diikuti Aris ternyata menyediakan alat-alat impiannya.
Aris menghabiskan uang tabungan senilai hampir delapan juta rupiah untuk membeli paket itu. Ada sepuluh jenis barang di sana. Grinder, handpresso, coffee maker, drip kettle, dan masih banyak lagi.
Aris seperti bocah kecil yang mendapat mainan baru. Sejak paket itu tiba, ia sibuk membuka, lalu memasangnya di dapur. Senyum yang tak henti tersemat, menandakan betapa bahagianya Aris saat itu. Setelah semua peralatan beres, pemuda itu sibuk memilah biji kopi terbaik yang baru dibelinya dari tempat kursus.
Aris tak membuang banyak waktu. Setelah mandi, ia langsung melancarkan aksinya. Mengambil biji kopi yang sudah dipilah, dan menggunakan automatic coffee grinder untuk menghaluskannya. Setelah semua siap, Aris mencoba membuat beberapa gelas latte yang mungkin disukai maminya. Tentu Risa yang akhirnya menjadi korban percobaan pertama.
"Enak, Ko!" kata Risa sungguh-sungguh. "Enggak terlalu pahit. Kayaknya tipe-tipe begini yang Mami bakalan suka."
"Kamu mendukungku bikin kafe?"
"Yoi! Siapa yang enggak mau kalau kokonya punya kafe?! Kan, bisa minum kopi enak kapan aja."
Aris langsung menjitak kepala Risa lembut. "Dasar!"
Risa menepuk-nepuk punggung Aris. "Berjuang ya, Ko! Risa doain semoga Koko berhasil."