Voice in Dream

Shireishou
Chapter #19

Bab 18 - Kelemahan

Manusia dan kelemahan adalah satu kesatuan. Mengakuinya bukanlah kelemahan.

⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰

Mendengar kata-kata Richie yang ingin berterus terang pada Mas Firman membuat Aily tersentak. Gadis itu jadi teringat kata-kata Toro yang menyarankannya sering-sering ke studio untuk belajar sekaligus mencari kesempatan.

"Apa malah nggak malu-maluin? Dubber, kok, alergi rokok." Gadis itu terdengar ragu.

"Enggak lah! Gue sendiri udah enam bulan bersih dari rokok. Lumayan!" Terdengar nada bangga di sana.

"Lo ngerokok?"

Richie mengangguk. "Mantan perokok berat. Sempat sakit sesak juga dan disuruh stop ngerokok sama dokter. Di situ gue mikir, ngapain ngerusak badan gue sendiri? Suara gue tetap keren meski tanpa rokok!" Ia terkekeh nakal.

Aily mau tak mau ikut tertawa.

"Gue balik dulu, deh. Lo, kan, nggak boleh capek-capek." Richie bangkit berdiri. "Lo pelajari aja dulu bukunya. Kalau lo berubah pikiran soal cosplay saat lomba, kasih tahu gue. Akan gue siapain langsung semuanya."

Aily terkekeh. "Masih yeee ..."

Richie mengangkat tangannya membentuk tanda peace. Keduanya tertawa bersamaan.

Richie baru saja hendak naik ke atas motornya tatkala Sari pulang. Melihat ada wanita paruh baya datang, Richie langsung bisa menebak itu adalah ibu Aily meski wajah mereka sama sekali tidak mirip.

"Selamat sore, Tante." Richie mengangguk sedikit dan mengangsurkan tangannya untuk bersalaman.

Reaksi Bunda tak jauh berbeda dengan Yura. Alis yang menyatu di tengah dan pandangan yang seolah menelanjangi dari ujung rambut dari ujung kaki. Richie sudah terbiasa dipandangi seperti itu dan memilih untuk tak mengacuhkannya. Pemuda berambut merah itu tetap tersenyum meski Bunda tak membalas sapaannya.

Bunda memilih langsung masuk ke rumah tanpa mengindahkan Richie sama sekali. Meskipun terkadang tidak peka terhadap perasaan orang lain, Aily tetap bisa merasakan gelagat tidak mengenakkan.

Betapa terkejutnya Aily setelah Richie pergi dan melihat Bunda masih menunggunya sambil duduk di ruang tamu.

"Siapa dia?"

"Richie. Dubber. Seumur Kak Aris juga."

"Dubber? Yang kamu nge-fans itu? Apa semua dubber dandanannya seperti itu?" Bunda jelas memperlihatkan nada tidak suka pada apa yang baru saja dilihatnya.

Aily menggeleng. "Hanya Richie yang seperti itu. Tapi dia cowok baik-baik, kok, Bun."

Sari mengeluarkan senyuman dingin. Senyuman sinis yang hampir tidak pernah dilihat Aily sebelumnya. Senyuman yang begitu menghakimi.

"Enggak mungkin ada orang baik-baik yang dandanannya seperti itu. Mustahil!"

Aily merasakan sesuatu yang menghantam dadanya. Rasanya sesak. Ibunya menghina teman barunya. Teman yang berusaha keras untuk mengembalikan kepercayaan dirinya yang selalu kandas ditelan bumi.

"Pokoknya," kata-kata ultimatum Bunda akhirnya muncul, "Bunda tidak ingin kamu bergaul sama cowok itu lagi!"

"Kenapa, Bun? Richie baik, kok. Tadi ke sini dia ..." Aily menghentikan kalimatnya. Ia hampir keceplosan soal cosplay dan workshop dubbing.

"Apa?" Sari masih memandang Aily penuh selidik.

"Richie khawatir sama kesehatan Aily."

"Alasan saja! Kalau misal dia serius khawatir, kan, tentu dia memilih datang secepatnya. Bukan hari Senin saat Bunda lagi nggak ada di rumah."

Lihat selengkapnya