Rasa takut pada kegagalan hanya akan membayangi kaki untuk melangkah dan berjuang.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
Aily kembali merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Berusaha mengenyahkan beban yang menggumpal di dadanya. Keragu-raguan seolah tak pernah sudi menyingkir dari hatinya. Mengendap dan mengerak. Toro pun kini justru menanyakan masalahnya.
"Aily nggak ada tempat latihan, Kak. Tempat yang kemarin udah nggak bisa dipakai." Aily mengelak. Ia tak ingin menjelaskan dengan detail. Akan tetapi, Aily sungguh masih takut untuk latihan di Shibuya Corner Cafe. Pengalaman waktu itu menorehkan luka yang cukup dalam. Dirinya tak ingin bertengkar lagi dengan Aris.
"Oh ..." Kini giliran Toro yang terdiam. Ia ingat betul bagaimana Aily bercerita dia menyembunyikan cita-citanya untuk menjadi seorang pengisi suara dari orang tuanya. Itu artinya, Aily tidak bisa latihan di rumah dengan bebas.
"Nanti Kakak bantu pikirkan." Toro akhirnya berusaha menenangkan.
Aily tersenyum lega, "Terima kasih, Kak."
"Oke, sekarang sudah malam. Selamat istirahat, ya!"
Aily mengangguk meski ia tidak akan terlihat oleh Toro. "Iya, Kak. Terima kasih. Selamat beristirahat juga."
Telepon diputus dengan menyisakan perasaan berdebar di hati Aily. Toro telah memberikan sebuah kesempatan besar. Kesempatan yang mungkin akan mengubah masa depannya.
"Huaaahhm." Rasa kantuk menyergap cepat. Aily yang sudah kelelahan akhirnya menghilang dalam tidur REM-nya dengan segera.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
Aily masih menghindari pergi ke studio dubbing untuk sementara. Dia sudah menitipkan pesan pada Firman melalui Toro bahwa dia tidak bisa mampir ke studio karena alasan kesehatan. Firman pun bisa memahami alergi rokok yang diderita Aily.
Senin itu, sepulang kuliah, Aily menyempatkan diri ke Shibuya Corner Cafe. Memesan minuman seperti biasa demi menceritakan kesempatan yang baru saja didengarnya semalam.
"Wah kalau begitu kamu ikutan, dong?" Aris tampak semringah mendengar berita yang baru saja sampai ke telinganya.
Aily mengangguk meski agak ragu.
Aris langsung bisa membaca aura ketidakyakinan terpancar kuat. "Jangan takut gitu, lah! Asal latihan, insya Allah semua lancar." Pemuda itu mengangsurkan pesanan Aily, segelas frozen mocca cappuccino seperti biasa.
“Enggak ada tempat latihan, Kak." Aily mengangkat bahu pasrah.
"Kapan sih casting-nya?"
Lagi-lagi gadis itu hanya mengangkat bahu tak mengerti. "Kata Kak Toro, sih, mungkin dua minggu lagi paling lama. Katanya bisa juga dimajukan.”
Aris mengangkat alisnya kaget. "Wah, pekerjaan yang kamu suka sungguh ajaib. Masak jadwal casting aja nggak pasti."
Aily tertawa seusai menyesap minumannya. "Mungkin karena hubungannya sama klien. Sama aja kan kalau kafe tiba-tiba diminta mempersiapkan pesta, tapi kliennya sendiri masih ngambang, mau bikin acaranya kapan."
Aris membenarkan. "Kehidupan dubber bener-bener dinamis, ya? Enggak melulu office hours."
"Itu yang aku suka. Enggak terikat pada rutinitas yang sama terus setiap harinya. Kayaknya bakalan seru dan antibosan!" Kekehan Aily terdengar penuh kegembiraan.
Aris menatap Aily penuh kekaguman. "Kamu bener-bener gadis yang gigih."
"Enggak juga, kok." Ekspresi gadis itu tiba-tiba berubah sendu. Aily kembali teringat bagaimana ia harus menyembunyikan semua dari Bunda.