Kadang, nurani dan logika tak seiring sejalan. Namun, menelaah kembali semua kemungkinan, kadang mampu membuat keduanya kembali searah.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
Aily kembali menggigit bibir bawahnya cemas. Ini gila! Ia tak mungkin mencintai seseorang yang begitu dibenci ibunya. Ya ... ini pasti bukan cinta. Aily berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Ini hanya rasa kagum yang sama seperti dirinya mengagumi Toro.
Tidak kurang, tidak lebih.
Richie: Ly, lo masih online?
Aily: Eh sorry telat bales.
Aily tak ingin menjelaskan lebih detail tentang alasan mengapa dia bisa telat membalas.
Aily: Gue nggak ada tempat latihan. Di rumah, takut ketahuan Nyokap.
Richie: Kenapa nggak di Shibuya Corner Cafe aja? Kayak dulu lagi?
Aily tak menjawab. Terus terang dia enggan. Ruangan itu mengingatkannya pada peristiwa yang membuat Richie dan Aris bertengkar. Meski ia sudah tidak marah pada Aris, tapi kenangan buruk tentang ruangan itu masih ada. Jika bisa, ia tak ingin ke sana.
Aily: Jangan ke sana, deh. Gue nggak enak ngerepotin mulu.
Richie: Hmmm …
Aily: Ya udah, kasih gue tip cara ngomong cepet, deh. Bawang Putih kalau lagi galau, ngomongnya cepet banget.
Aily berusaha mengalihkan pembicaraannya. Ia tidak ingin membuat Richie menanyakan alasannya yang lain.
Richie merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Aily, tapi ia tak memaksa.
Richie: Sama aja, kok. Lo latihan aja baca koran secepet yang lo mampu. Kalau udah bisa cepet, ntar pas baca dialog, nggak bakalan keserimpet lagi.
Aily mengeluarkan stiker yang menunjukkan jempol bertuliskan, OK.
Aily: Makasih, ntar gue coba.
Richie: Oke, gue mau pergi dulu. Lo latihan aja dulu. Gue slow respon, ya.
Stiker hantu yang melambaikan ekornya mengakhiri tulisan Richie.
Aily: Sip!
Aily berpikir, Richie mungkin harus pergi ke studio lain untuk dubbing. Toh, waktu masih menunjukkan pukul tiga sore dan itu artinya masih banyak waktu bagi Richie untuk mengisi suara di berbagai studio seperti biasa.
Richie kini mengendarai motor Tiger-nya menyusuri jalanan kota Jakarta menuju sebuah tempat yang tidak akan pernah Aily duga sebelumnya.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
"Ngapain lo ke sini?"
Richie tersenyum sedikit sinis. "Tumben enggak jaim ngomong pake aku-kamu," sindirnya pada pemuda yang kini berdiri kaku di hadapannya.
"Kalau cuma mau nyindir cara gue ngomong, mending pergi, deh! Gue masih punya hal yang lebih penting untuk dikerjakan daripada ngeladenin lo sekarang." Pemuda berkacamata itu menatap Richie dingin.
"Gue mau ngomong soal Aily." Richie menatap Aris serius.
Rahang Aris mengeras. Melihat makhluk dengan dandanan norak di hadapannya saja sudah membuat darahnya mendidih. Sekarang dia malah berani datang tanpa diundang dan mengajaknya bicara tentang Aily di kafenya sendiri. Benar-benar kelewatan!
"Kalau lo cuman mau suruh gue mundur dari ngedeketin Aily, jangan harap!" Aris bersedekap. Dia agak mendongakkan kepala menatap Richie dengan pandangan yang sangat menusuk.
Richie menaikkan sudut bibirnya. Mencibir dan meremehkan lawan bicaranya. "Gue enggak nyangka lo sepicik itu. Oh, dan nggak usah khawatir, gue yakin, gue nggak akan kalah dari lo!"