Voice in Dream

Shireishou
Chapter #24

Bab 23 - Masa Silam

Kadang kepercayaan diri kandas saat terlalu melihat ke atas. Sekali-sekali menoleh lah ke belakang, untuk melihat seberapa jauh kita sudah melangkah.

⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰

Kepanikan Aily membuat gadis itu tak menyadari bagaimana Richie memperhatikan gerak-geriknya sedari tadi.

"Bagaimana kalau peran Bawang Putih diserahkan saja pada Deline. Dia sudah bisa berakting dengan baik, bukan?"

Lagi-lagi Endy berusaha membujuk Firman dengan begitu halus. Jadi ini tujuan mereka datang kemari sebelum hari casting? Aily merasa kesal.

Firman melirik sepintas ke arah Aily. "Tidak bisa. Ada kandidat lain yang suaranya juga cocok untuk Bawang Putih. Casting akan tetap diadakan Kamis depan.”

Deline sontak menoleh ke arah Aily. Memandang gadis berwajah tampan di hadapannya penuh selidik. "Kamu sainganku?" tanyanya dingin.

Aily bergeming dan memilih tak menjawab apa-apa.

Deline mencebik. "Aku tak yakin orang sepertimu bisa bersuara cantik seperti Bawang Putih."

Rasa perih seperti luka yang tersiram garam meremukkan semua pertahanan Aily. Gadis itu masih berusaha mati-matian untuk tetap tegar dan tidak berbalik untuk berlari pulang.

"Jaga mulut lo," Richie berdesis pelan, tapi Deline bisa merasakan hawa mengancam di sana.

Richie berdiri kaku di hadapannya. Pandangan Richie dingin dan menusuk lurus ke arah Deline yang masih mengamati Aily.

Deline akhirnya mengalihkan pandangan dari Aily. Tatapannya beralih pada Richie. Deline terdidik dengan rasa percaya diri atas kemampuannya. Kegigihannya dalam berlatih akting lah yang bisa membuatnya meraih puncak kesuksesan di usianya yang masih belia. Saingan macam Aily atau ancaman dari Richie sama sekali bukan masalah besar baginya.

Deline selalu mendapat yang ia mau, dan akan selamanya begitu.

"Kamu kenapa nggak jadi aktor aja? Badanmu bagus, muka lumayan, akting bisalah dipelajari."

Richie mengeluarkan seringai sinis yang belum pernah dilihat Aily sebelumnya. "Nggak minat. Dubbing jauh lebih seru daripada dunia yang dianggap gemerlap itu." Richie menekankan kata dianggap sekuat tenaga.

"Hooo ... kalau belum dicoba, mana bisa tahu? Sayang sama potensimu." Deline mengangkat bahunya tak acuh.

"Gue nggak perlu cerita sama anak bau kencur soal pekerjaan apa aja yang pernah gue coba."

Deline membeliak. Gadis itu tampaknya terkejut sekaligus marah mendapat kata-kata balasan yang dinilai tidak sopan itu.

"Sudahlah," Firman berusaha menengahi. "Anter Aily pulang, Chie. Udah mau maghrib." Firman mengusir Richie dan Aily secara halus. Ia tak ingin ada masalah dengan studionya.

"Eh, Ly, tolong tulis nomor HP dan telepon rumahmu di papan tulis. Nanti saya hubungi kalau ada perubahan jadwal," tambah Firman.

Aily hanya mengangguk lemah.

Richie tak menjawab dan hanya menepuk pundak Aily untuk keluar ruangan. Artis terkenal itu memang berbakat. Namun, kelakuannya membuat Aily naik darah. Mood Aily terjun bebas. Ia sungguh tidak mengerti bagaimana Deline bisa begitu percaya diri. Aily kesal. Ah ... Iri dan mungkin kehilangan kepercayaan dirinya lagi.

⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰

Richie akhirnya mengantarkan Aily hingga ke depan kampusnya. Mereka nyaris tak bicara sepanjang perjalanan, kecuali saat Richie memaksa Aily untuk menerima ajakannya untuk pulang sama-sama.

"Lo enggak usah kuatir soal Deline." Hanya itu yang dikatakan Richie saat Aily mengembalikan helmnya.

Aily terlihat senewen mendengar kalimat Richie.

"Gimana gue nggak khawatir? Akting dia dewa banget gitu?!" Nada Aily meninggi. Dia kesal. Kesal pada ketidakmampuannya untuk menyaingi Deline.

Lihat selengkapnya