Mungkin tak selamanya waktu bisa menyembuhkan luka. Namun, waktu mampu membuat hati lebih kebas menghadapi duka yang sama.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
Richie memandang Aily dan siap untuk menceritakan semua yang dia sembunyikan di masa lalu.
"Lalu gue jatuh cinta sama dubbing. Saat itu kebetulan studio tempat gue casting sinetron juga open casting buat dubber. Terus gue ikut. Mungkin gue hoki, langsung diterima meski hanya peran lewat. Gue enggak benci akting. Masih suka kangen malah. Kadang kepikir pengin balik akting lagi. Tapi gue rasa, gue nggak bisa maju di sana."
"Terus sekarang nyokap lo gimana?" Aily bertanya hati-hati.
"Nyokap meninggal nggak lama setelah gue memutuskan jadi dubber di Jakarta." Kali ini wajah Richie bener-benar meredup. "Kecelakaan. Gue bahkan belum sempat bilang gue udah bisa dapet peran utama pertama gue."
"Maaf."
"Ngapain minta maaf? Gue yang pengin cerita. Intinya, gue udah memilih jalan ini, dan akan gue perjuangin. Dan gue enggak mau lo ngalamin penyesalan karena gagal, sementara ortu lo juga nggak ngedukung lo."
"Lo dan Kak Aris ternyata sama-sama nggak didukung ortu." Aily tersenyum lembut. "Tapi, kalian bener-bener pejuang gigih. Salut banget! Semoga gue juga bisa berhasil kayak kalian."
Richie mendongak ke arah Aris. Pemuda itu setengah tak percaya bahwa Aris juga tak didukung orang tuanya. Kafe ini terlihat begitu sukses. Namun, seulas senyum melintas di wajah Richie. Pemuda dengan anting berjajar di telinga itu juga heran, baru kali ini dia merasa kagum pada pesaing cintanya. Aris ternyata lebih tangguh dari yang diduganya semula.
"Oke, daripada baper di sini, latihan aja, yuk! Keburu sore!" Richie menelengkan kepalanya.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
Mereka latihan intensif hampir tiga jam. Aily sudah lebih menguasai teknik pernapasan dari sebelumnya. Aris memilih tidak melihat CCTV daripada logikanya kembali tersapu kabut kecemburuan. Richie kali ini lebih menjaga jarak. Ia tak ingin memanfaatkan kondisi mereka yang tengah berdua di ruang karaoke. Ia ingin menjaga amanah yang diberikan Aris kepadanya. Melatih Aily, demi peran pertamanya. Itu saja.
"Ya ampun, hampir kemalaman. Sorry, Kak, alarmku nggak nyala. HP-ku low batt dan mati, soalnya. Kok, nggak diingetin?"
Aris hanya tertawa. "Enggak masalah, kok. Kenapa juga nggak kamu charge?"
"Charger-nya ketinggalan, lagian nggak sadar kalau low batt." Aily melirik ke arah jam dinding di dekat meja kasir. "Ya udah, aku pamit dulu. Keburu Bunda pulang."
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
Aily pun meninggalkan Richie dan Aris yang masih berdiri di depan pintu kafe mengantarkan kepergiannya.
Jam belum menunjukkan pukul tujuh malam ketika Aily memasuki pintu rumahnya. Betapa terkejutnya ia tatkala melihat Bunda tengah duduk di ruang tamu dan menatapnya serius.
"Ke sini!"
Sebuah perintah yang begitu tegas dan tanpa basa-basi. Raut wajah yang masam langsung membuat Aily menyadari ada yang tidak beres.
"Tadi Pak Firman menelepon. Apa maksudnya dengan casting dubber dimajukan jadi hari Selasa?"
Jantung Aily terasa mau lepas dari tempatnya. Kenapa Firman tidak menghubungi HP-nya? Ah iya, HP-nya low batt. Tubuh Aily terasa kelu. Ia bahkan tak mampu menatap wajah ibunya.
"Jawab Bunda!" Nada Bunda naik menandakan ketidaksabarannya.
Aily masih membeku diam.