Kadang kita menutup telinga dan menilai hanya berdasar rasa. Padahal, jika sedikit mendengarkan, mungkin hati yang beku akan berubah menjadi hangat.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
Seumur hidup, Aris berusaha untuk tidak memeluk apa yang belum sah menjadi miliknya. Demi menjaganya. Namun, kondisi hari ini memaksanya untuk melanggar janjinya. Aily terlihat begitu rapuh. Seolah ia akan terserak berantakan jika tidak direngkuh erat.
Aily merasa nyaman dalam dekapan pemuda yang kini mencurahkan kehangatan dan perhatian sepenuhnya itu. Mata Aris melembut kala merasakan air mata Aily kini sudah mulai membasahi dadanya. Menembus celemek dan kausnya. Keperihan yang terjalar di sana. Aris sungguh tak bisa mengerti, kepedihan macam apa yang diderita gadis ini hingga ia begitu terluka.
Hampir selama sepuluh menit Aily menumpahkan segala duka yang tertahan. Untungnya, belum ada tamu yang datang. Hari masih pagi, dan kafe memang selalu sepi pada jam-jam begini.
Gadis itu mulai merasa tenang dan perlahan mengendurkan pelukannya. Saat itu Aily tersadar karena telah melakukan perbuatan yang menurutnya memalukan.
"Ma-maafkan aku." Aily salah tingkah. Ia melihat betapa besarnya sisa genangan air mata yang kini tercetak jelas di baju Aris.
Aris mundur sedikit dan mengangsurkan kotak tisu ke arah Aily. "Tidak apa-apa." Senyum lembut yang menyenangkan terpancang di sana. "Sudah baikan?" Aris kembali bertanya khawatir.
Aily mengangguk. "Maaf merepotkan." Aily mengelap ingus dan air mata yang tersisa di wajahnya.
"Mau kubuatkan minum?" tanya Aris ragu. Ia masih belum berani kembali menanyakan alasan gadis yang dicintainya itu sampai menangis.
"Terima kasih."
Tak sampai lima menit, Aris sudah kembali membawa frozen mocca cappuccino seperti biasa. Aily menyesapnya sedikit. Aliran serutan es memberi rasa segar dan manis saat membasahi kerongkongannya yang kering akibat menangis.
"Aku nggak boleh jadi dubber."
Satu kalimat yang mampu membuat Aris tersentak. Pasti ibunya. Aris tak habis pikir kenapa banyak orang tua yang begitu sulit untuk memberikan jalan bagi passion yang anak mereka punya? Mereka justru menghalangi bahkan menjatuhkan anak-anak mereka hingga harus berkubang dalam kesedihannya sendiri.
"Sudah coba bicara?"
Aily menggeleng. "Perintah Bunda itu absolut."
Aris menghela napas. "Mau aku bantu bicara dengan ibumu?"
"Jangan!" Aily langsung melarang keras. "Aku nggak mau masalahnya tambah runyam."
Aris membetulkan letak kacamatanya lagi. Pemuda itu berpikir keras mencari cara agar Aily bisa keluar dari kemelutnya.
"Kalau backstreet?"
"Enggak bisa juga, Kak. Aku nggak mau kualat." Aily menghela napas. “Kemarin Bunda sudah melarang aku bergaul sama Richie. Sekarang aku dilarang dubbing sambil ngejelek-jelekin Richie. Aku nggak mau bawa-bawa orang ke masalahku."
Aris tertegun. Aily masih sempat memikirkan keadaan orang lain, padahal dirinya sendiri sedang terluka seperti itu. Betapa beruntungnya Richie karena Aily begitu rela terluka hanya demi mencegah ibunya menghina pria itu lebih lanjut. Aris makin kagum pada gadis yang masih berusaha menenangkan dirinya sendiri itu.
"Maaf, aku nggak bisa bantu apa-apa. Tapi, kalau kamu butuh apa-apa, kasih tahu aja. Nanti aku pasti akan bantu."
Aily tersenyum getir. Ia tahu Aris benar-benar perhatian kepadanya. Itulah juga mungkin salah satu alasan mengapa kakinya selalu saja melangkah menuju kafe ini.
"Kau mau makan apa? Aku masakin." Aris tersenyum menenangkan. Ia sungguh ingin membuat Aily tersenyum.
"Aku nggak lapar, Kak."
"Kalau gitu, camilan aja, ya?"
Aily mengangguk lemah. Ia tak ingin mengecewakan Aris yang mati-matian berusaha menghiburnya.
Aris berdiri dan langsung menuju dapur untuk menghilang selama sepuluh menit. Betapa terkejutnya Aily kala melihat sepiring panekuk berbentuk penyu yang begitu lucu. Ketebalannya yang tepat membuat penyu terlihat begitu menggemaskan. Apalagi warna hijau dan cokelat yang begitu menggoda. Sirup maple yang disiramkan ke atasnya menambah kilau yang semakin menggemaskan.