Kekecewaan hadir bersama dengan harapan. Namun, manusia tanpa harapan seperti raga kosong tanpa tujuan.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
Bunda tak melihat Aily ikut makan malam bersama. Hal yang sangat jarang dilakukannya. Biasanya Aily memilih menahan laparnya hanya untuk bisa makan malam bersama, bahkan di saat ujian sekalipun. Apa Aily sungguh-sungguh menghindarinya? Bunda merasakan perasaan tersayat. Mengapa anak sulungnya tak memahami alasannya mencegah Aily masuk ke dunia yang tidak punya masa depan itu.
Ah ... bukankah hari ini Aily ikut casting? Apa itu artinya Aily telah gagal sehingga ia memilih mengurung dirinya di kamar? Tanpa sadar senyum bahagia tersungging di wajah Bunda.
Dengan begini semua beres. Mungkin untuk beberapa saat Aily akan marah padanya. Namun, tidak apa-apa. Toh, cepat atau lambat, Aily akan menyadari bahwa apa yang dilakukan ibunya semata-mata demi kebaikan anak itu juga.
Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Suara Bunda terdengar menyapa. Aily yang sedang menonton Bawang Putih Bawang Merah di layar monitor komputernya menekan tombol spasi. Dengan enggan ia melangkah untuk membukakan pintu. Sebelum tangannya terulur memutar kenop pintu, gadis itu memejamkan mata dan menenangkan diri.
"Ayo senyum, Ly!" bisiknya seraya menepuk-nepuk pipi perlahan.
Aily membuka pintu perlahan. Memberikan senyum terbaiknya pada Bunda yang berdiri penuh rasa ingin tahu.
"Masuk, Bun."
Aily duduk di atas kasur dan mempersilakan Bunda duduk di atas kursi komputer kesayangannya.
"Gimana casting-nya?" Tanpa basa-basi Sari langsung ke pokok pembicaraan.
"Belom."
Sari menghela napas sedikit kecewa, namun berusaha tetap tersenyum.
"Maksudnya?"
"Deline, pesaingku minta ulang. Padahal tadi dubbing dia parah banget. Namun, koneksi dia kuat. Dia kenal produser studionya."
"Deline?" Sari terdengar kaget. "Madeline Tanuwidjaya? Artis beken itu? Yang cantik dan rambutnya dicat ungu itu? Kamu saingannya? Wow!"
Aily membenarkan dengan rikuh. Bahkan ibunya pun mengenal Deline. Ah, malasnya.
"Jadi kamu gagal? Dia otomatis kepilih?"
Deg ... kalimat itu sungguh merajah hatinya. Bunda benar-benar ingin melihatnya gagal.
"Diundur doang, Bun. Lusa casting lagi. Deline minta waktu buat latihan intensif sama Kak Toro."
"Ya ampun, dubber yang bela-belain datang ke sini itu?"
"Iya," jawab Aily lemah.
Lagi-lagi tanpa sadar, sebuah senyum lebar tersemat di wajah Sari. Aily menyadari itu. Bunda kini bahagia atas kegagalan dan ketidakberdayaannya. Padahal hanya tinggal satu langkah saja, Aily bisa meraih cita-cita juga impiannya sejak lama.
Masih tak bisa dimengerti mengapa Bunda selalu menganggap dubbing merupakan pekerjaan yang tak menjanjikan.
Ah, sudahlah. Ia tak boleh mengeluh. Nikmati saja prosesnya. Jika ini memang casting terakhirnya, maka ia akan melaluinya penuh rasa bangga.