Kadang kita runtuh hanya dengan satu kalimat tak percaya dari orang terkasih.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
Aris bergerak ke arah gadis yang kini terlihat lesu itu. Pemuda itu memutar kursi tempatnya duduk agar bisa menghadap ke arah Aily dan menggenggam jemarinya.
"Hei, nggak usah minder gitu. Yang penting, kan, kamu udah berusaha." Aris mendongakkan wajah Aily sedikit.
Aily tak menjawab. Ia kehabisan kata-kata.
"Apa kamu khawatir kalau Deline menang, kamu selamanya nggak akan bisa jadi dubber seperti ancaman ibumu?"
Aily hanya mengangguk lemah. Gadis itu tak mau berkata-kata lebih lanjut. Aris sejenak terdiam.
"Enak, ya, jadi orang berpengaruh. Kalau punya cita-cita, semua bisa tercapai dengan mudah." Pandangan Aily menerawang. Ada secuil rasa iri terselip di sana. "Rasanya kolusi udah jadi hal lumrah dalam hidup."
Aris kembali menggenggam tangan Aily yang kini mengepal keras. Pandangannya melembut. "Makin banyak orang yang melakukan kesalahan yang sama, maka kesalahan itu akan semakin dianggap wajar. Namun, bukankah kalau salah, itu akan tetap salah meski seluruh dunia melakukannya?"
Aily tercenung. Netra sekelam malam itu menatap iris kecokelatan di hadapannya. Mencari pegangan. Mencari kepercayaan dirinya yang hilang. Ya, apa yang dilakukan Deline memang lumrah, tapi itu belum tentu benar. Aily tak bisa mencegah Deline untuk memperkecil kesempatannya untuk meraih impian.
"Yang paling penting berusaha saja semaksimal mungkin. Kau akan tetap menang bagi dirimu sendiri apa pun hasilnya." Aris membelai wajah Aily dan menyibakkan poni yang selalu menutupi wajah sebelah kanannya.
Ah, senyum pemuda itu benar-benar hangat. Bagaimana setiap ada kesempatan, Aris selalu menyibak poni Aily ke belakang seolah ingin mengatakan tak perlu lagi bersembunyi. Aily istimewa dengan caranya sendiri, maka pandanglah dunia dan hadapi dengan ceria.
Aris benar. Aily tak boleh terlalu sering terpuruk. Dirinya sudah mendapat dukungan dari banyak pihak. Gadis itu sudah berusaha semampunya. Yang kini bisa dilakukan adalah tetap berjuang untuk memberikan yang terbaik. Dia tak akan mengecewakan siapa pun lagi.
"Lagi pula," Aris menggantungkan kalimatnya. Aily bisa merasakan genggaman tangan Aris semakin erat dan sedikit bergetar. Kacamata yang kini sudah sedikit melorot itu tak dibetulkan kembali. Aris menarik napas panjang. "Aku akan selalu mengizinkan gadis pilihanku untuk melakukan apa yang menjadi cita-citanya. Meski menjadi dubber sekalipun."
Aily seperti diterjunkan dari ketinggian lima ratus meter. Darah yang tersirap naik ke kepala mendengar perkataan Aris barusan. Apa maksudnya? Siapa gadis pilihannya? Dirinyakah? Aily tergugu. Gadis itu tak tahu harus bereaksi seperti apa mendengar kalimat yang membuatnya seperti terjatuh, lalu dilempar kembali ke langit tinggi-tinggi. Memberikan berjuta pertanyaan yang berputar tanpa henti di kepalanya.
KLINTING!
Suara denting lonceng membuat Aris terkejut dan langsung melepaskan genggamannya.
"Yang tadi, pikirkan saja setelah casting. Aku tak ingin membebanimu," bisiknya. "Namun, percayalah, aku akan selalu mendukungmu apa pun jawabanmu nanti."
Aily tak bisa menyembunyikan raut wajah yang terperangah, kebingungan, salah tingkah, dan tak tahu harus berbuat apa. Richie yang tiba dengan pakaian serbahitamnya langsung menyadari ada yang tidak beres di antara keduanya. Terlebih saat Aris pamit ke dapur dan langsung menyerahkan kunci ruang karaoke tanpa banyak bicara pada Richie.
"Ada apa?" Richie dengan suara rendahnya kembali membuat Aily berdesir. Aily paling tak bisa mendengar suara itu. Seolah membiusnya untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Kak Aris nembak gue," bisik Aily lirih.
Tangan Richie mengepal kuat. Rahang yang mengeras berusaha memadamkan gejolak panas yang kini mulai merayap naik ke dadanya. Ia kecolongan.
"Apa jawaban lo?" Nada rendah yang terdengar semakin ditekan. Richie mati-matian berusaha untuk tidak menaikkan suaranya dengan seluruh api cemburu yang mulai membakar dadanya.
Aily hanya menggeleng. "Lo keburu datang."
Helaan napas panjang penuh kelegaan sama sekali tak disembunyikan Richie. Untung saja dia datang tepat waktu. Sedikit saja terlambat, mungkin Aily sudah langsung menerima pernyataan cinta itu. "Saat ini, bukan saatnya mikirin cinta-cintaan," ujarnya pendek. "Lebih baik kita mulai latihan."
Richie menggamit tangan Aily dan langsung mengajaknya masuk ke ruang karaoke. Aily berjalan sedikit tergesa di belakangnya. Berusaha mengikuti langkah Richie yang terlihat terburu-buru.
"Mau latihan apa?"