Voice in Dream

Shireishou
Chapter #34

Bab 33 - Kenyataan

Meski tak selamanya tepat, manusia selalu menilai berdasarkan rupa. Karena itu hal pertama yang mudah terlihat dengan mata telanjang.

⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰

Aily menarik napas panjang saat Bunda tak juga menjawab pertanyaannya. "Kenapa Aily nggak boleh berteman sama Richie, Bun?" gadis itu mengulangi dengan lirih.

Bunda tersentak. Aily berani menjawab kalimatnya. Gerakan tangan yang tadi sempat kembali menyendok nasi terhenti. Diletakkannya sendok dan garpu itu di atas piring. 

Yura dan Mika saling pandang dalam bisu. Mika mengamati Aily dari sudut matanya. Kakak perempuannya itu terlihat sangat gusar.

"Kamu masih tanya kenapa?" Kali ini alis Sari mengerut ke dalam. Ada pernyataan retoris yang tak terbantahkan di sana.

"Ayah selalu mengajari supaya tidak menilai orang dari luarnya." Wajah Aily yang sedari tadi menunduk kini perlahan terangkat dan menatap Bunda dengan alis yang terangkat penuh kepedihan. "Kenapa Bunda malah menilai orang dari luarnya?"

Bunda terbelalak. Rahang wanita paruh baya itu bergerak saat gigi gerahamnya beradu. Ada hawa meliuk panas di dada. Anak sulungnya kini berani membantah demi seorang pria yang bahkan berpakaian dengan wajar pun tidak mampu.

"Bunda tahu! Bunda bisa tahu dia orang macam apa! Enggak ada orang baik yang pakai anting berjajar seperti itu! Enggak ada orang di kantor Bunda yang make kalung perak gede dengan besi yang mencuat seperti itu! Enggak ada!" Sari menegakkan tubuhnya. Napasnya terdengar memburu.

"Tapi dia orang baik, Bun. Dia ngajarin Aily banyak hal!"

Sari menggebrak meja. Suara Aily yang semakin meninggi mau tidak mau memancing emosinya ikut naik.

"Kamu nggak tahu apa niat busuk di balik semua tindakannya!"

Rasa sakit yang ditahan sejak lama meruak keluar. Pecah tak tertahankan. "Enggak!" Aily sudah hampir tak bisa menahan air mata pecah keluar. Matanya berkaca-kaca.

"Aily enggak tahu kenapa Richie mau nolongin Aily terus." Suaranya terbata. "Tapi Aily tahu, dia satu dari sedikit orang yang nggak menilai Aily dari fisik. Dia juga enggak ngetawain Aily karena Aily mirip cowok! Malah dia adalah orang pertama yang berani bilang Aily bisa terlihat keren meski tidak cantik!"

Aily bangkit dari duduknya kemudian secepat air mata yang akhirnya jatuh bergulir di pipinya, gadis itu berlari meninggalkan meja makan yang masih diselimuti hawa beku. Suara pintu depan ditutup menandakan Aily telah pergi meninggalkan rumah.

Bunda menarik napasnya perlahan. "Mika, apa hari ini ada ujian?" Ia mengalihkan perhatian.

Wanita paruh baya itu agak shock. Richie tidak menghina Aily dari fisiknya. Pemuda yang mungkin ternyata menyukai anaknya bukan karena fisiknya, justru ia hakimi karena penampilannya. Ironis.

Namun, sisi lain hatinya berkata tindakan yang ia lakukan benar. Tidak akan ada perusahaan yang mau menerima pemuda macam itu. Ah, belum tentu Richie lulus kuliah. Jangan-jangan ia hanya lulusan SD. Mau dibawa ke mana masa depan anaknya kelak? Tidak! Ia tak boleh bimbang. Mungkin Aily akan menyangka dirinya kejam. Namun suatu hari dia akan sadar, ini juga demi kebaikan putri kesayangannya.

⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰

Dengan mata bengkak dan hidung memerah, Aily tiba di depan Studio Kreativitas Anak Bangsa. Bukan Richie yang membukakan gerbang. Firman tersenyum melihat Aily sudah datang pukul delapan lewat sedikit.

"Deline sudah datang, Mas?" ragu Aily bertanya.

Firman menggeleng. "Belum ada yang datang. Baru kamu."

Namun baru saja Firman hendak menutup gerbang, terdengar suara deru motor mendekat. Richie datang dengan Tiger merah. Wajah di balik helm itu terlihat semringah. Ada semangat yang sangat positif di sana. Ah, Aily tak boleh menampakkan kesedihannya. Richie sudah berusaha menolong. Lagi pula, meski menyakitkan, kalimat Bunda tidak akan mampu mengubah penilaiannya terhadap Richie.

"Wah, pas banget." Richie mendorong motornya masuk ke garasi. Firman kembali menutup gerbang dan mendahului naik ke lantai dua.

"Tidur lo enak? Lo kenapa?" Richie mengamati mata Aily yang masih terlihat merah. Warna kemerahan di hidung gadis itu membuatnya khawatir. Hanya ada dua pilihan. Aily pilek, atau baru saja menangis.

Aily tak menjawab dan memilih mengempaskan tubuhnya di sofa ruang tunggu. "Enggak kenapa-kenapa."

"Beneran?" Richie masih tak percaya.

"Iya. Please ... nggak usah dibahas." Aily mengangkat bahunya. Ia tak ingin membahas itu. Gadis itu ingin melupakan ucapan Bunda. Melepaskan pikiran buruk dan fokus pada casting.

"Menurut lo, gue harus gimana?"

Richie tak mengerti. Disandarkannya tubuhnya ke belakang. Kalung rantai yang tergantung di pinggulnya berdenting saat beradu satu sama lain. "Maksud lo?"

"Apa ada yang kurang sama Bawang Putih versi gue?" Wajah Aily yang pias terlihat menggemaskan.

Richie secara refleks menepukkan kedua tangannya ke pipi Aily dengan lembut. "Hei, lo dah berjuang mati-matian. Hasil latihan lo udah jauh lebih baik dari sebelumnya. Percaya sama kemampuan lo!"

Rasa hangat yang menyebar dari telapak tangan Richie merambat ke dalam batin Aily. Seolah ada bara api kecil yang semakin membesar. Menghangatkan hatinya yang sempat membeku kedinginan. Bibir Aily membentuk bulan sabit sempurna ke atas. Richie selalu mampu membangkitkan semangatnya. Tangannya seolah memiliki sihir yang bisa menyalakan kembali dian asa yang sempat padam terguyur hujan.

Lihat selengkapnya