Keberhasilan juga kegagalan adalah proses untuk belajar.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
"Saya akan memberikan keputusan dalam satu atau dua jam. Sebentar lagi akan ada video call dengan pihak production house. Kalian boleh tunggu di luar dulu. Atau mau cari makan juga nggak apa-apa."
Deline mengangguk sedikit dan keluar dengan anggun. Aily menyusul di belakangnya.
"Cari makan, yuk!" Richie menggamit tangan Aily untuk turun tangga.
Aily tampak ragu dan melirik ke arah Toro yang tengah berbicara serius dengan Deline. Tampaknya mereka tidak bisa diganggu. Aily ingin mengajaknya makan juga. Sejujurnya, saat ini Aily sama sekali tidak berminat makan. ia hanya ingin menghindar dari Deline. Gadis itu tak ingin melihat wajah pesaingnya. Kadang Aily merasa hatinya begitu sempit. Semua sesak ini tak bisa dikontrolnya. Dia ingin bisa dengan tulus mengatakan betapa mengagumkannya Deline. Sayang, ia belum mampu.
“Beli gorengan aja, boleh? Gue lagi males makan.”
Richie mafhum. “Kalau cuma gorengan, gue aja yang beli. Lo tunggu aja di sini. Biar cepet.”
Aily mengangguk. Dia juga terlalu malas untuk keluar studio. Mood-nya rasanya kacau-balau. Gadis itu mengempaskan diri ke sofa dan menggeser-geser beranda media sosialnya tanpa membaca isinya satu pun.
Tak sampai dua puluh menit, Richie sudah kembali. “Maaf, gorengannya pada nggak buka.” Pemuda itu terlihat sangat menyesal.
Aily terkikik pelan. Wajah Richie memerah terkena cahaya mentari siang yang terik. “Nggak masalah. Gue juga nggak terlalu mood makan. Maaf, ya malah ngerepotin.”
Richie menggeleng santai dan meletakkan minuman dingin dalam plastik kresek di atas meja. "Ya udah, nunggu di beranda aja, yuk! Lebih adem."
Aily mengangguk. Dengan setengah hati ia berjalan menuju beranda. Pandangannya mendongak ke langit yang hanya berhias sedikit kapas putih. Langit begini cerah, tapi hatinya hanya bisa merasakan sesak dan penyesalan.
Gadis itu tak ingin membicarakan soal casting. Ia punya perasaan buruk akan itu. Lalu, firasatnya hampir tidak pernah salah.
"Lo dah bermain sebisa lo, kok!" Richie menepuk-nepuk punggung Aily lembut.
Aily sadar betul Richie hanya ingin menghiburnya. Tak mungkin Aily bermain baik tadi. Mungkin malah lebih parah daripada sebelumnya. Gadis itu memahami betul jika Richie bermaksud baik, karenanya ia hanya mengucapkan terima kasih.
"Mau?" Richie mengeluarkan sebatang cokelat mede besar ke arah Aily.
"Eh?" Aily ragu menerima cokelat utuh itu. Harus gadis itu akui, ini merek cokelat kesukaannya. Itu berarti selera mereka berdua sama? Aily merasa senang.
"Katanya cewek kalau lagi galau butuh cokelat." Richie mengeluarkan sebatang yang berukuran kecil dari dalam tasnya. "Gue juga nyetok buat gue sendiri."
Aily memandang cokelat kecil yang ada di genggaman tangan Richie, dan yang berukuran besar di telapak tangannya. Tawa kecil menghias bibir Aily yang kemudian berubah jadi tawa lebar. "Ini enggak kebalik ukurannya?"
Richie ikut terkekeh. “Gue diet. Cokelat nggak boleh banyak-banyak.”
“Serius lo?!”
“Jelas, dong, lo pikir gimana cara gue bisa punya body seksi kayak gini?” Richie tertawa sembari memainkan alisnya.
“Jijay!” Aily ikut tertawa.
Suara rendah Richie saat tertawa begitu terdengar memesona di telinga Aily. Gadis itu merasakan semangatnya sedikit pulih. Richie selalu bisa membuatnya tertawa dengan caranya. Mengembalikan semangat meski dengan cara sederhana.