Voice in Dream

Shireishou
Chapter #37

Bab 36 - Pengertian

Terkadang cinta harus mengalah pada logika.

⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰

Richie masih berusaha menata hatinya yang berkeping. Namun, dia tak ingin melukai Aily lebih lama lagi. 

“Gue harap lo akan selalu berbahagia. Sekarang juga selamanya.”

"Thanks."

Gadis itu menarik napas dengan sangat panjang. Berharap menghalau semua duka yang menggelayut. Namun, tak urung ia tersenyum meski hanya sebuah tarikan bibir yang samar.

"Mau gue antar balik?"

Aily menggeleng mantap.

"Ah, iya gue ngerti." Richie kembali maklum. "Apa berarti setelah ini, gue nggak bisa berhubungan sama lo sama sekali? Bahkan sebagai teman?"

"Boleh, kok. Hanya saja ..." Kalimat Aily menggantung. "Semua harus tanpa sepengetahuan Nyokap." Aily mengembuskan napas perih.

Richie mengangguk. "Enggak masalah. Setidaknya dengan gini, kita nggak putus pertemanan, kan?"

"Tentu saja." Aily mengangguk mantap. Menyeka air mata dan hidungnya untuk yang terakhir kalinya.

Gadis itu bangkit berdiri. Berusaha memperlebar senyum yang menghias wajahnya. Tak dikembalikannya poni yang sudah tersangkut rapi ke belakang telinga. Richie menyusulnya bangkit berdiri.

Untuk yang terakhir, Aily menatap pemuda yang membuat hatinya berbunga bahagia. Untuk yang terakhir, ia akan mencoba melepas apa yang sempat menjadi kenangan terindahnya.

"Makasih untuk semuanya."

Richie mengangguk dan membelai puncak kepala Aily. "Sukses selalu dengan kuliah lo."

Aily hanya mengulang mengatakan hal yang hampir sama sebelum akhirnya berpamitan dan bergerak menuju tangga. Baru saja ia hendak turun, langkahnya tertahan. Diedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Memandang studio dubbing yang dicintainya untuk yang terakhir.

"Ly, lo masih ke sini kok, minggu depan. Kan masih harus take Bawang Putih Bawang Merah." Richie tiba-tiba menyela saat melihat Aily terdiam memandangi studio. Dia sukses merusak adegan penuh haru itu.

Mulut Aily menganga lebar. "Ah, gue lupa!" Aily menepuk keningnya kuat-kuat untuk kemudian tertawa lepas. Richie merasa lega melihat tawa itu.

"Sampai jumpa minggu depan."

Richie mengangguk. "Hati-hati di jalan."

Langkah kaki Aily yang menuruni tangga terlihat lebih ringan dari sebelumnya. Ini bukan saat terakhirnya berada di dalam studio kesayangannya.

Betapa terkejutnya Aily saat ia membuka gerbang. Aris sudah terlihat di seberang jalan, duduk di atas motor bebeknya. Peluh yang membasah di pelipis menandakan dia sudah cukup lama berada di sana. Aily melirik jam yang ada di ponselnya dengan cepat. Pukul dua siang. Ya Tuhan, sejak jam berapa dia harus menunggu di depan studio yang terik itu?

"Kenapa nggak WhatsApp aku?" Aily tergopoh menghampiri Aris yang menghapus peluh di keningnya. Kemeja birunya sudah basah karena keringat.

"Aku nggak mau ganggu." Kalimat Aris terpotong kala melihat mata Aily yang bengkak kemerahan. "Kamu nangis?"

Aily buru-buru menyeka kembali matanya. "Nggak apa-apa, kok."

Aris tak tahu harus berkata apa. Segala macam kalimat penghiburan seolah lenyap dari kepalanya. Ia sungguh mencemaskan gadis yang hidungnya masih memerah itu. Apa dia gagal casting? Apa Deline telah menyakiti Aily? Dan berjuta pertanyaan berkecamuk di benaknya.

"Mau frozen mochaccino gratis?"

Tawa Aily meledak mendengar kalimat yang terucap. Aris yang sedari tadi menunggunya di depan studio, Aris yang tak berani sekadar menghubunginya karena takut mengganggu konsentrasinya dan rela banjir keringat menunggu tanpa mau bergeser, malah justru menawarkan segelas minuman kesukaannya. Aily tersentuh.

"Aku gagal jadi Bawang Putih, tapi aku kepilih memerankan Bawang Merah. Aku cukup senang." Aily tak ingin membuat pikiran Aris lebih kusut lagi. Aily sudah cukup kasihan melihat Aris dengan kening yang berkerut dan peluh yang seolah tak habis mengalir.

Lihat selengkapnya