Kadang, terciptanya kejujuran adalah saat kita mulai belajar mendengarkan.
⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰
"Nah, Tante!" Aris tiba-tiba menyambut dengan suara ceria. "Kan, keren tuh, Aily langsung dipilih dari production house-nya. Enggak perlu casting, pula! Padahal artis beken macam Deline aja pakai casting.” Pemuda itu menjelaskan dengan berapi-api. "Ini kesempatan terakhir, Tante. Lagi pula ..."
Aris menghentikan ucapannya. Merengkuh tangan Aily lembut seolah memberikannya semangat. "Aily sudah mengorbankan banyak hal. Dia cerita dia bahkan nggak mau backstreet jadi dubber kalau sampai gagal jadi Bawang Putih."
Bunda terperangah. Bibir tipis yang diwariskan pada Aily itu terbuka sedikit. Ia terkejut melihat anaknya begitu tepat janji. Meski saat ini Bunda sadar, anak gadisnya pasti sudah ingin menangis.
Genggaman tangan Aris makin membuat Bunda yakin pemuda itu mendukung Aily sepenuh hati dan itu sedikit banyak memengaruhinya. Helaan napas terdengar.
"Bunda senang kalau kamu menepati janji yang sudah kita buat." Ada keheningan sejenak menyergap.
Aris ikut meremas lebih kuat tangan Aily dengan gugup. Entah sudah berapa kali ia bolak-balik membetulkan kacamata yang masih bergeming di tempatnya. Mungkin ini lebih menegangkan daripada jika kelak ia ingin melamar Aily.
"Kamu boleh men-dubbing Bawang Merah."
Aily mendongak. Ia hampir tak percaya pada apa yang didengarnya. Dengan mata masih berkaca-kaca menahan semua sesak yang menggumpal, Aily mengernyit tak yakin.
"Iya," Bunda kembali menegaskan. "Kamu boleh nge-dubbing Bawang Merah." Ia tersenyum lembut. Wajah dengan kerut di sekitar mata itu terlihat jauh lebih ramah daripada sebelumnya.
"Hanya kali ini saja, ya!" imbuhnya lagi.
Air mata Aily tak bisa lagi dibendung. Gadis itu langsung bangkit dan menghambur ke pelukan bundanya. Merengkuhnya erat dan berbisik dalam tangisnya, "Terima kasiiih ..."
"Ih malu!" Bunda tertawa, tapi tak urung ia merengkuh putri sulungnya bahagia. Matanya bertemu dengan Aris yang menatap Aily dengan pandangan lega. Ia bisa merasakan betapa pemuda itu sungguh-sungguh mencintai putri sulungnya. Seorang pemuda yang rela datang, berhadapan dengan dirinya untuk membujuk agar Aily mendapatkan apa yang diimpikan. Bunda tersentuh.
"Ly, diliatin Nak Aris, tuh!" Bunda menepuk-nepuk punggung Aily lembut.
Aily tergelagap. Gadis itu langsung bangkit berdiri dan mundur tersipu. Aily kembali duduk di sebelah Aris dengan wajah memerah menahan malu. Diusapnya air mata yang sempat jatuh karena bahagia.
"Nih, minum," bisik Aris mengangsurkan teh manis hangat ke tangan Aily yang masih terlihat gemetar.
Gadis itu tersenyum dan menyesap teh hangatnya perlahan. Rasa manis yang menyebar di palpia lidahnya membuat Aily sedikit santai. Aliran hangat yang bergerak turun ke perut, memberikan kenyamanan di dalam dadanya.
"Kapan rekamannya?" Sari akhirnya angkat bicara setelah Aily terlihat lebih tenang.
"Rabu depan."
"Wah, pas libur kuliah, ya." Sari mengangguk-angguk senang.
Aily membenarkan. Ia sudah cukup merasa bersalah telah membolos beberapa kali demi mendapatkan peran ini. Aily tak akan mengorbankan kuliahnya lagi. Ia harus mendapatkan nilai dan ilmu terbaik yang bisa diraihnya, demi pekerjaan yang mapan kelak.
"Terima kasih banyak, Tante." Aris sangat berterima kasih. Pemuda itu terlihat lega. Aura bahagia yang tak bisa ia tutupi terpancar dengan jelas.
"Sejak kapan kalian jadian?"
Air teh menyembur langsung diterima Bunda yang duduk di depan Aily. Gadis itu tersedak hebat mendengar pertanyaan ibunya yang begitu mendadak. Aris terkejut dan menepuk-nepuk punggung Aily berusaha menenangkannya. Aris mengambil kotak tisu di atas meja dan menyerahkannya kepada Bunda lalu Aily.
Bunda terkekeh pelan sambil membersihkan noda di bajunya. Senyum membuat kerut di sekitar matanya semakin terlihat. Namun, tidak ada kesan menakutkan di sana. Justru ia terlihat tengah menikmati kejadian yang terpampang di hadapannya. Tak ada amarah meski seragam kantornya terkena semburan air teh barusan.
"Ah, tisu, Tante?" Aris mengangsurkan kotak tisu yang sempat ia tarik kala melihat ada air yang juga membasahi rok sepan panjang milik Sari.
Bunda hanya tersenyum dan mengambil beberapa helai. "Kenapa kaget? Itu pertanyaan wajar, kan?"
Aris berusaha menahan tawanya. "Aris sudah nembak Aily, Tante. Tapi dia masih ragu. Mungkin karena dia masih anak kecil." Aris tak bisa lagi menyembunyikan kekehan manisnya.
Cubitan berputar Aily langsung mengenai pinggang Aris. Pemuda berkacamata itu pun hanya bisa merintih minta ampun.
"Wah, wah, kalau Tante, sih, setuju aja kalian jadian. Aily juga udah gede." Sari terkekeh. Dia senang anaknya bisa mendapatkan pria baik-baik dibandingkan harus dengan pemuda berandalan itu.