Voice in Dream

Shireishou
Chapter #39

Bab 39 - Keputusan

Akhir dari satu perjalanan pada hakikatnya merupakan awal dari perjalanan yang baru.

⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰


Mendengar Deline terang-terangan meminta nomor ponsel Richie, membuat Aily menahan senyum. Deline blak-blakan menunjukkan ketertarikannya pada Richie. Entah ketertarikan dalam hal pekerjaan, ataupun mungkin juga perasaan. Meski merasa tak nyaman dengan kelakuan Deline, tapi Aily berusaha untuk tetap netral. Aily kini hanyalah teman Richie. Ia tidak berhak merasa cemburu atau sakit hati jika Richie bersama wanita lain.

Aily berusaha meyakinkan dirinya bahwa Richie dan Deline terlihat cocok. Terutama dengan penampilan keduanya yang sama-sama trendi. Rasa perih memang menyayat gadis itu. Namun, keputusannya sudah bulat. Waktu akan menyembuhkan lukanya. Akan tiba hari saat ia akan bisa melihat Richie seperti sahabatnya. Tidak lebih. Aily akan berusaha keras untuk menata hatinya hingga hari itu tiba.

"Buat apaan?" Richie menjengit sedikit memandang kartu nama dengan desain lolita yang diangsurkan ke arahnya.

Deline mengangkat bahunya sedikit tak acuh. "Yah, kamu ganteng, body kamu bagus. Sayang kalau nggak jadi aktor. Aku bisa bantu kamu jadi aktor tenar."

"Ah, gue nggak minat jadi aktor." Richie melengos.

"Coba dulu. Ayo dong. Masa nggak berani terima tantangan?" Deline tertawa. Gadis itu terlihat manis kalau tertawa lebar seperti itu.

"Gue udah pernah nyoba kale. Sotoy lo!" Dengusan keras terdengar. "Cuma tetep aja, tanpa koneksi kuat, gue, ya, segitu-gitu aja. Mending jadi dubber. Lebih nyaman."

Deline terdiam sejenak. Matanya berputar-putar seolah sedang berpikir keras.

"Oh, gampang. Kasih nomor HP-mu dulu. Itu bisa kuatur!" Deline masih bersikukuh.

Richie menggeleng. "Ogah! Gue enggak mau nebeng kolusi sama lo. Amit-amit," katanya bergidik.

Aily nyaris tertawa melihat keduanya. Ia jadi ingat bagaimana dulu Richie begitu keras kepala membujuknya. Kini pemuda itu harus kerepotan oleh hal yang sama.

"Ih, ge-er! Aku cuma mau kasih peluang. Lolos enggaknya tergantung kemampuanmu. Kamu sama aku jelas beda level lah." Deline mencebik lucu.

Richie tersenyum geli melihat polah penuh percaya diri gadis di hadapannya. Akhirnya dia menyerah. "Oke, nih nomer HP gue." Richie menyebutkan sederet angka dan Deline menyimpannya ke dalam ponsel.

"Sip!" Ada senyum bahagia terlihat jelas di bibir gadis itu. "Thanks, ya!"

"Yuk, take! Deline duluan. Nanti Aily setelahnya." Firman tiba-tiba muncul dari lantai tiga.

Dengan anggun Deline bangkit dan naik ke lantai tiga. Meninggalkan Aily dan Richie sendirian di bawah.

"Gue cabut, ya!" Richie melihat jam tangannya. "Toro bentar lagi datang seharusnya. Gue harus take di studio lain."

Aily mengangguk. "Kalau nanti jadi aktor tenar, jangan sombong, ye!" canda Aily.

"Mana mungkin gue bisa lupa sama lo." Dia mengelus puncak kepala Aily.

"Bye." Richie seolah mengucapkan salam untuk yang terakhir. Mengikhlaskan perpisahan mereka untuk selamanya. Mengucapkan selamat tinggal pada gadis yang sempat membuat hidupnya jauh lebih berwarna.

"Bye."

⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰

Aily menghabiskan waktunya dengan membaca buku kuliah di ruang tunggu guna berusaha mengejar ketinggalannya, hingga suara berat kesukaannya menyapa. "Wah, udah datang?"

Aily menoleh ke arah Toro yang langsung duduk di kursi sebelahnya.

"Kak Toro jadi siapa di Bawang Putih Bawang Merah?"

"Jadi bapaknya."

"Oh ... " Aily mengangguk-angguk setuju akan pembagian peran itu.

"Enggak naik?" Toro melihat jam tangannya. Sebentar lagi pukul sebelas.

"Nunggu Deline." Aily memasukkan bukunya kembali ke tas.

"Ly, take!" Teriakan Firman tiba-tiba terdengar dari atas.

Aily menoleh ke arah Toro. "Ikut naik, Kak?"

"Enggak. Kakak mau baca-baca naskah dulu. Good luck, ya. Nanti Kakak nyusul."

Aily mengangguk. Setengahnya dia senang karena Toro tak ikut menyaksikannya dubbing. Ia bisa lebih grogi dari sekarang.

Aily bersiap ke atas. "Doakan ya, Kak!"

"Pasti!"

Aily pun menghilang ke atas tangga.


⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰

Hampir satu jam kemudian, suara dering telepon terdengar di ruang tunggu. Toro mengangkatnya dengan segera.

Lihat selengkapnya