Voice in Dream

Shireishou
Chapter #40

EPILOG

EPILOG


Suara adu jurus terdengar dari arah layar televisi. Hari Sabtu siang yang tenang. Sari menghabiskan waktunya bersantai menyaksikan film laga Indonesia. Wanita paruh baya itu lega, setidaknya saat ini, ia benar-benar melihat serial aksi yang tidak dilengkapi naga terbang ataupun ular raksasa. Hanya adu jurus dengan disertai efek angin dan daun-daun beterbangan. 

Sari merindukan film klasik kerajaan Indonesia yang penuh aksi dan bukan sekadar dipenuhi efek-efek 3D murahan. Gerakan kedua tokoh yang tengah beradu jurus terlihat memesona. Cara menendang, memukul, melompat, dan berputar di udara terasa seru dan menegangkan. Apalagi wajah keduanya begitu tampan dan energik.

"Ly, itu siapa sih? Aktor baru, ya? Bunda sering lihat dia muncul bareng Deline."

Sari menunjuk seorang pemuda bermata lebar dan berkulit putih yang tengah mengambil kuda-kuda tempur. Otot lengannya yang kukuh terlihat jelas karena ia mengenakan baju tanpa lengan. Wig panjang hitam yang dihias ikat kepala bermotif batik, membuatnya terlihat begitu gagah. Wajah manis itu diberi shading tegas di bagian rahang yang menimbulkan kesan jantan, tapi tetap anggun. Gerakan silatnya luwes sekaligus kuat. Siapa pun akan langsung tersedot untuk memperhatikan aktingnya.

Aily menyambar tas cangklong yang tergeletak di atas kursi. "Itu kan Richie, Bun," jawab Aily setengah menahan tawa.

Sari melotot tak percaya, "Beda banget!" bisiknya samar. "Di-dia sekarang jadi pemeran utama bareng Deline, lho!"

Aily hanya mengangguk. "Ini aku mau lanjut dubbing suara Deline."

"EH?!" Sari terperenyak. "Itu suaramu?"

Aily tak bisa lagi menahan tawanya. "Iya, Bunda sayang. Itu yang ngisi suara Richie adalah Kak Toro, kok. Katanya suara Richie kurang berat untuk peran itu. Padahal Richie udah berat suaranya. "

"Kamu masih ketemu dia?" Bunda menatap Aily waswas.

Aily hanya kembali menyunggingkan senyum penuh kesabaran. "Mana sempat. Dia sekarang sudah jadi artis sibuk. Enggak jadi dubber lagi. Bahkan udah punya manager sendiri, lho!” Pandangan gadis itu menerawang seolah menghitung sesuatu. “Kalau nggak salah, sudah dua tahun, sejak terakhir kali kami ketemu."

Aily mematut dirinya sejenak di depan kaca. "Lagian, sekarang aku jadi dubber cuma buat proyek ini aja karena Deline yang meminta langsung. Mana sempet casting kalau pulang kantor aja udah jam tujuh malem."

Gadis itu sudah melangkah ke depan. Meninggalkan kenangan indah akan cinta pertamanya di belakang. Tak ada lagi rasa kecewa saat melihat Richie dan Deline berakting bersama. Yang tersisa hanya rasa bangga karena seorang sahabat kini telah meraih mimpinya.

Sari mengangguk lega. Ditatapnya kembali sosok Richie yang kini sudah terlihat berbeda di layar kaca. Ia tak pernah menyangka bahwa orang yang dulu berdandan dengan begitu ajaib bisa sukses sebagai seorang aktor pendatang baru yang bahkan sudah berhasil meraih peran utama.

Aily mengulurkan tangannya dan bersalaman dengan Sari. "Aily berangkat dulu ya, Bun." Aily mengecup kening ibunya lembut.

"Hati-hati. Ngangkot?"

Aily menggeleng.

"Oh." Sari tampak mengerti. "Hati-hati, ya, kalian."

"Siap, Bun!"

Sementara itu di luar rumah, tengah menunggu seorang pria di atas motornya. Pikirannya mengembara selagi ia menanti Aily keluar dari pintu.

Kenangan membawanya ke perjumpaan pertama mereka hampir lima tahun lalu.

⊱ ────── {.⋅ ✯ ⋅.} ────── ⊰

Hari itu Aris sibuk memindahkan poster-poster anime berukuran besar hasil lukisannya sendiri. Gerimis yang mulai turun membuat pemuda itu mempercepat gerakannya. Beberapa poster yang sudah dipigura, dipindahkan dari atas mobil pick up ke bawah parasol yang ada di depan calon kafenya.

Jarak ke meja ber-parasol lebih dekat daripada harus repot menggotong pigura masuk ke kafe. Lagi pula meja berpayung besar itu cukup aman melindungi dari hujan. Sedangkan yang masih berupa gulungan kertas, dibawa lari langsung ke dalam kafe.

Bolak-balik ia sibuk sendirian menyelamatkan poster-posternya. Kini ia mulai memindahkan pigura dari bawah parasol ke dalam kafe saat semua poster kertas sudah aman terlindungi. Saat itulah pemuda itu melihatnya.

Lihat selengkapnya