Kamis malam Jumat. Jam dua dini hari. Hujan deras dengan petir yang terus menyambar, sungguh memekakkan telinga. Seharusnya di saat seperti ini aku tertidur sambil berselimut tebal di kamar kost. Atau jika harus melaksanakan shift malam, aku bisa meminjam kasur pegawai untuk tidur sebentar, toh di saat seperti ini kafe pasti sedang sepi-sepinya.
Yah... Seharusnya seperti itu.
Tapi... Aku malah berdiri basah kuyup di lorong jalan yang sepi, bersembunyi di balik punggung si pencuri HP. Menatap nanar lima pria berwajah mengerikan yang mulai berjalan mendekati kami. Bak segerombolan kucing liar yang siap menerkam dua tikus tak berdaya.
Sungguh kontras dengan yang aku lakukan satu jam yang lalu, duduk bertopang dagu dan menatap jalanan dengan bosan.
"Tidurlah. Biar aku yang jaga. Hujan badai seperti ini pasti tidak ada pengunjung yang datang." Ah, andai saja aku menuruti ucapan Akbar tadi. Aku pasti sedang tidur di kamar pegawai yang hangat.
Dan aku tetap bersikukuh untuk menemani Akbar untuk berjaga hingga tiga pengunjung aneh datang.
Pengunjung pertama adalah seorang laki-laki berusia kira-kira akhir 20an. Memasuki kafe dengan kikuk. Menatap seluruh ruangan kafe yang kosong melompong. Lalu dia berjalan ragu menghampiriku.
“Selamat datang di Hello Café. Mau memesan apa?” sapaku dengan ramah. Pengunjung pertama menatap daftar menu dengan bingung. Cukup lama dia memilih hingga dia bertanya menu bestseller. Badannya yang kurus terlihat bergetar hebat. Sepertinya dia menggigil kedinginan karena kehujanan dan tidak membawa payung. Maka dari itu aku sarankan salah satu menu hot coffee. Dia menyerahkan uang kertas yang terlipat basah dari saku jaketnya.
“Silakan menunggu ya kak,” kataku sambil menyerahkan bill. Dia menatap pintu kaca kafe dengan bimbang, lalu mengeluarkan HP.
“Ma-maaf, toilet di sebelah mana ya?”
“Di ujung sana ya kak,” kataku sambil menunjuk ujung belakang kafe.
Pengunjung pertama terdiam sebentar. Lalu menyerahkan HPnya. “Nitip ya. Ja-jangan serahkan ini ke siapapun… sampai aku kembali.”
Dia langsung berlari ke lorong arah toilet. Aneh. Padahal hanya ke toilet sebentar. Tapi kenapa malah titip HP?
Aku simpan HP tersebut di laci kasir. Kopi pesanannya sudah siap di meja pengambilan.
Tidak berselang lama, pengunjung kedua membuka pintu kaca kafe dengan keras. Untung saja pintu kaca tersebut tidak pecah. Aku menatap kesal ke tiga orang bertubuh besar dan berwajah seram yang baru masuk. Tapi mereka hanya memasuki kafe. Melihat seluruh ruangan. Lalu pergi begitu saja tanpa menutup pintu atau, tentu saja, tanpa memesan apapun. Aku pun menutup pintu tersebut dengan mengomel.
“Kenapa mukamu kusut begitu?” tanya Akbar tiba-tiba. Dia baru kembali dari tempat pembuangan sampah di belakang kafe.
“Ada pengunjung tidak sopan. Memasuki kafe tanpa memesan apapun. Padahal mereka nyaris memecahkan pintu kaca itu.”
Akbar hanya tertawa. “Beristirahatlah, biar aku yang jaga.”
“Aku nggak ngantuk,” kataku kesal. Lalu lanjut mengepel lantai basah di depan pintu. Agar tidak ada pengunjung yang terpeleset.
Disaat itulah pengunjung ketiga membuka pintu kaca. Datang dengan membawa payung biru tua yang dia taruh di pinggir pintu. Dia mengacak rambutnya yang basah. Sepatu ketsnya yang berlumpur menginjak lantai yang baru aku bersihkan. Membuatku ingin melempar alat pel ke kakinya.
“Selamat datang di Hello Café,” sapaku dengan senyuman yang penuh keterpaksaan. Dia mengabaikanku. Dan menghampiri Akbar di tempat pemesanan.
Dia memesan ice vanilla latte. Membayar kopi secara cashless. Tak lupa bertanya password wifi kafe. Lalu duduk di kursi belakang sambil memakai headset dan bermain game di HPnya. Suaranya sangat berisik.