“Aya, ayo bangun!”
Tubuhku berguling ke sisi kiri. Tapi dia malah memukulku berkali - kali dengan bantal, “CEPAT BANGUN!!!”
Suaranya membuatku kesal. Aku mendengus , “Aku masih ngantuk Rei…”
Rei???
Terlonjak. Kupaksakan badanku untuk bangun hingga posisiku kini terduduk. Rei menyambutku dengan senyum lebar pepsodent yang menjadi ciri khasnya. Senyum yang selalu kuingat diwajahnya. Dia sudah berdiri rapi dengan seragam putih abu-abu, pertanda sudah siap berangkat ke sekolah
Kupandangi kedua tanganku. Kusentuh rambutku yang sebahu. Kutatap seluruh ruangan. Secercah cahaya menyelinap dari balik gorden jendela kamar yang berwarna pink. Di bawah jendela tersebut ada meja dan kursi belajar… rak buku yang tertata rapi… lemari kayu bercat pink… beberapa poster anime yang tertempel di dinding. Bagaimana bisa aku terbangun di kamar rumahku? Dengan Rei di sampingku? Bagaimana bisa?!
Rei memukul mukaku dengan boneka kelinci. “Cepat mandi! Ini sudah jam enam. Kita bisa terlambat.”
Kurasa aku sedang bermimpi, atau memang kembali ke masa SMA.
Aku melompat untuk memeluk Rei. Entah ini mimpi atau memang aku kembali ke masa lampau, yang penting aku bisa melihat Rei kembali. Aku merindukan bocah nakal kembaranku ini.
Pelukanku membuatnya memberontak. “Cepat mandi, bau!”
Aku tertawa lepas. Oke - oke, aku mandi. Aku berjalan melompat - lompat kegirangan bak ballerina, inilah sekiranya gambaran betapa bahagianya diriku saat ini. Rei hanya menggeleng menatapku dengan kenyritan di dahinya. Gila!
Ibu menyajikan sarapan pagi dengan nasi telur mata sapi dan sayur kacang polong. Aku menikmati kacang polong buatannya dengan lahap tak bersisa. Membuat Ibu dan Rei heran, karena selama ini yang mereka tahu, aku tidak menyukai kacang polong.
Aku memakai sepatu hitam polos. Rei hanya berdiri sambil mengetuk-ngetukan sepatunya ke lantai berulang kali, bersandar di dinding dan menatapku kesal. “Dasar cewek, lelet!”
“Yuk berangkat.”
Kami menaiki sepeda menuju sekolah. Kali ini giliran Rei yang mengayuh, sedangkan aku duduk di sadel penumpang. Kami melewati taman ilalang dengan permandangan gunung biru tua di depan mata. Langit tampak cerah hari ini. Burung - burung bersenandung. Cuitannya memeriahkan suasana pagi ini. Kurentangkan kedua tanganku dan kupejamkan mataku. Angin segar khas pegunungan menampar wajah dan rambutku hingga terurai mengikuti aliran angin. Damainya hari ini.
Oke kuperkenalkan diriku. Namaku Raya Kusuma. Remaja 15 tahun, kelas 1 SMA. Tinggal bersama ibu yang single parent, dan saudara kembar beda gender bernama Rei. Reynaldi Kusuma. Kami tinggal di kota kecil di lereng gunung Arjuna.
“Aya, cepat pegangan. Aku akan mengebut.”
Reflek kupegang erat seragamnya. Rei mempercepat kayuhannya.
Aya, adalah panggilan kecilku. Agar tidak tertukar ketika orang-orang memanggil kami. Nama Raya dan Rei memang sedikit mirip.
Akhirnya kami tiba di satu - satunya sekolah negeri di kota kami. Dan aku melewati hari ini dengan cepat.
--***--
"Ayaaaaaa"
Buku matematikaku nyaris terjatuh ketika pintu kamarku terbuka lebar. Rei berhambur ke arahku dan tiduran di kasurku.
"Huft nyamannya... Rapi, wangi, segar. Kamar cewek memang yang terbaik untuk menenangkan diri."
Kupincingkan bola mataku ke arahnya. "Bersihkan kamarmu, buat kamarmu nyaman. Jangan malah membuat gaduh di kamar orang!"
Rei mengabaikanku. Dia hanya memeluk guling, lalu berguling - guling tidak jelas di kasur. Sudah kuputuskan dari awal cowok paling berisik dan hiperaktif adalah si Rei.
“Wah, komik baru? Conan, One piece, Inuyasha… hari mingguku sangat menyenangkan,” gumam Rei. Tingkahnya membuat kasurku berantakan. Komik - komik itu baru kemaren kupinjam dari perpustakaan umum. Dan sudah kususun rapi di pojokan kasur. Tapi kedatangan bocah ini malah membuatnya berantakan.