Ashlesha menatap pantulan diri di cermin. Penampilannya terlihat lebih bersih semenjak datang dari kediaman Der Chastelein, sang nyonya rumah memberikannya satu set baju baru yang di belinya secara dadakan. Sebuah gaun setinggi lutut berwarna biru cerah ber-lengan pendek, dengan kerah rendah berwarna putih. Ashlesha merasa sangat takjub dan masih tidak memercayai bahwa dirinya akan mengenakan pakaian sebagus ini.
"Kamu menyukainya?" Tanya Vie, berdiri di belakang Ashlesha menyisir setiap helaian pirang kusam yang kering serta bercabang.
"Ini sangat indah, Nyonya." Cicit Ashlesha sangat pelan, Vie membelai lembut rambut gadis mungil ini.
"Saya merasa tidak pantas mendapatkan perlakuan baik dari Nyonya sekeluarga." Ashlesha menunduk, di balik debaran rasa senang pagi ini terselip ketakutan besar dalam hatinya.
Vie berhenti menyisir rambut Ashlesha, kedua tangan panjang itu merengkuh Ashlesha dari belakang. Menyalurkan sebuah kehangatan yang mungkin tidak pernah di dapatkannya selama bertahun-tahun.
"Kamu pantas, Ashlesha. Semua pantas mendapatkan kehidupan layak, begitu juga dengan kamu.– Vie membalik tubuh Ashlesha agar menghadap dirinya, Vie berlutut megusap pipi Ashlesha penuh sayang.
Panggil aku Ibu. Di sini, aku bukanlah orang yang perlu kamu layani. Mulai hari ini, kamu bagian dari keluarga Der Chastelein."
Pupil mata Ashlesha bergetar, bibirnya terkatup-katup tanpa mengeluarkan sedikitpun suara. Vie merasa harus memaklumi reaksi gadis ini, dia hanya tersenyum kemudian kembali memeluk Ashlesha.
"Hwaaa... Haaaaa.... Hwaaaa...." Vie memejamkan matanya erat, memperdalam pelukannya pada Ashlesha yang menangis.
Jovian berdiri tak jauh dari Ibu dan Ashlesha, memperhatikan interaksi mereka lekat-lekat. Hatinya bergetar, matanya terasa panas. Ini sungguh pemandangan yang menyakitkan, Jovian merasa pilihannya tepat karena telah membawa Ashlesha ke rumahnya. Gadis itu meraung-raung melepaskan semua beban yang telah dia tahan selama bertahun-tahun, Isak tangis itu terdengar amat pilu dan penuh luka.
Vie terus merapal kalimat penenang, sembari mengelus punggung sempit Ashlesha hati-hati. "Menangis lah, tidak apa-apa... Keluarkan semua... Semua akan baik-baik saja, kita semua akan membantu."
Entah sudah berapa lama Ashlesha menangis di pelukan Vie. Sekarang, gadis itu tertidur di kursi panjang sudut ruang tamu. Dia kelelahan. Jovian duduk lesehan di lantai kayu, mengelus rambut Ashlesha lembut.
"Apa kita tidak bisa membiarkan dia untuk tetap tinggal?" Tanpa mengalihkan pandangannya dari si pemilik kulit memerah terbakar matahari Jovian bertanya pada sang Ibu.
"Kita bisa melakukannya, tapi... Orang-orang dari Vierlicht pasti akan segera mencari budak mereka yang hilang. Percuma saja kalau kita sembunyikan, mereka akan tetap menemukan Ashlesha bagaimanapun caranya." Terang Vie miris.
Tatapan Jovian menyendu, dia benar-benar memiliki perasaan sedih tentang ini. "Kenapa bangsawan-bangsawan itu begitu kejam pada orang-orang yang tidak memiliki kekuatan seperti Ashlesha?"
Vie menghampiri Jovian, duduk di sebelahnya dan ikut memperhatikan Ashlesha yang tidur dengan nyenyak. "Para bangsawan itu membeli budak di pelelangan dengan harga yang sangat mahal, mereka merelakan uang mereka untuk membeli manusia. Dan, karena hal itu budak tidak memiliki hukum yang melindunginya."
Jovian menggertakan giginya, dia tidak suka ini. Dalam satu sentakan Jovian beranjak membuat Ibunya mendongak menatapnya heran.
"Mau kemana?"
"Aku mau membantu Ashlesha. Aku akan mencari air dulu di sumur desa, aku takut kalau saat Ashlesha pulang nanti dia akan kembali di siksa karena tidak membawa banyak air. Maka dari itu, aku akan menggantikannya."
"Jov—" Vie hendak menghentikan putranya itu, namun dia berlari kencang keluar dari rumah. Vie hanya bisa menghela napas lelah melihat kepergian Jovian.
✛✛✛
Sebisa mungkin Jovian melakukan pekerjaan Ashlesha tanpa di sadari oleh pelayan lain, ini benar-benar melelahkan. Entah sudah berapa kali Jovian pulang pergi dari sumur desa ke kediaman Vierlicht, tangki air besar itu belum juga terisi penuh.
Jovian baru tahu kalau rumah mewah ini memiliki tiga tangki air besar dengan kapasitas 1000 liter, lima sampai enam orang akan di tugaskan mengisi satu tangki air. Mereka akan bolak-balik menggunakan gerobak yang di tarik kuda untuk mengangkut air dari desa. Jovian tidak ikut menaiki gerobak karena tentu itu akan menimbulkan kecurigaan dari para pelayan rumah. Merelakan kaki serta tangannya sakit, Jovian dengan penuh semangat membara mengangkut ember-ember itu untuk di gunakan orang-orang Vierlicht.
Jovian menarik napas panjang, matahari hampir tergelincir ke arah barat. Dengan bermandikan keringat, Jovian duduk bersandar pada dinding dingin tempat penyimpanan kayu bakar. Nafasnya terengah-engah, bibir dan tenggorokannya terasa sangat kering.