Jakarta belum sepenuhnya bangun pagi itu. Jalanan masih lengang, hanya beberapa motor ojek yang melintas cepat, dan suara klakson masih jarang terdengar. Tapi Boedy sudah duduk di atas motornya sejak subuh tadi, diam tak bergerak, di sebuah gang sempit dekat Menteng. Mesin motornya menyala pelan, suara knalpot tua itu bergetar lembut, seperti ikut menunggu keputusan dari sang pengendara. Boedy hanya menatap lurus ke ujung jalan yang temaram, seolah masih mencari alasan terakhir untuk tidak menoleh ke belakang. Di dalam dadanya, ada sesuatu yang terasa berat, seperti tali yang ditarik dua arah: antara ingin pergi dan enggan benar-benar meninggalkan.
Ia tahu betul apa yang sedang ia lakukan pagi itu. Ini bukan perjalanan biasa. Bukan jalan-jalan, bukan liburan, bukan lari dari masalah. Ini sesuatu yang lebih dalam. Mungkin sebuah panggilan, atau dorongan gila yang tak bisa dijelaskan pakai logika. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai staf kantor di sebuah perusahaan periklanan yang cukup mapan. Ia keluar tanpa marah, tanpa konflik, hanya karena ia merasa... sudah cukup. Sudah cukup duduk diam menghadapi layar komputer delapan jam sehari, cukup merasa "aman" tapi kosong, cukup mengiyakan hidup seperti yang diatur orang lain. Ia tidak tahu akan ke mana hari ini. Tidak ada GPS, tidak ada peta. Di dashboard motornya cuma ada secarik kertas bertuliskan: “Mulai dari sini.”
Ia menengok sekali ke arah rumah ibunya. Rumah tua berwarna putih dengan pagar hijau yang catnya mulai mengelupas. Di balik jendela, ia melihat ibunya sedang menyiram tanaman. Tak ada pelukan perpisahan, tak ada drama, hanya anggukan kecil dari ibunya yang membuat matanya sedikit memanas. Itu bukan anggukan restu biasa. Itu semacam bahasa isyarat dari seorang ibu yang tahu anaknya harus pergi. Bukan untuk mencari uang, bukan untuk jadi orang sukses, tapi untuk mencari sesuatu yang jauh lebih rumit: dirinya sendiri.
Boedy pelan-pelan menarik gas, dan motornya pun bergerak. Suara mesin tua yang tadinya ragu-ragu kini terdengar mantap, menembus dingin pagi Jakarta. Angin yang menerpa dari arah Thamrin membuat matanya sedikit menyipit, tapi dadanya perlahan terasa lebih ringan. Ia melewati Bundaran HI, lalu terus menuju arah selatan. Kota ini begitu dikenalinya, namun pagi ini terasa seperti kota yang baru. Ia melihat segalanya dengan cara berbeda. Mobil-mobil, pejalan kaki, papan reklame, dan lampu merah—semua terlihat seperti bagian dari cerita yang sudah ia tinggalkan. Sekarang, ia sedang menulis cerita baru, satu kilometer demi satu kilometer.
Di daerah Matraman, ia berhenti sebentar di lampu merah. Di seberang jalan, seorang bapak tua sedang mendorong gerobak penuh barang bekas. Gerobaknya berat, dan terlihat mulai miring ke kanan. Boedy langsung menepi, turun dari motor, dan berlari kecil ke arah si bapak. Tanpa banyak tanya, ia bantu menopang sisi gerobak yang miring, lalu ikut mendorong sampai ke tempat aman di pinggir jalan. Si bapak hanya mengangguk pelan, tak banyak bicara. Boedy pun tak menunggu terima kasih. Ia hanya tersenyum, mengangguk balik, dan kembali ke motornya. Seringkali, yang membuat dunia tetap berjalan bukanlah bantuan besar, tapi gerakan kecil yang dilakukan tanpa pamrih.
Perjalanan berlanjut. Ketika sampai di daerah Manggarai, Boedy memutuskan berhenti sejenak untuk sarapan. Ia memilih warung kecil di pinggir jalan. Ada beberapa kursi plastik yang sudah pudar warnanya, dan meja kayu sederhana. Ia memesan nasi uduk dan segelas teh manis. Di seberangnya duduk seorang ibu muda dengan dua anak kecil. Wajah si ibu terlihat lelah, rambutnya diikat asal, dan kedua anaknya tampak rewel meminta kue. Ibu itu mencoba menenangkan mereka dengan sabar, tapi jelas terlihat ia sedang menahan banyak hal. Mungkin lapar, mungkin letih, atau mungkin… hanya ingin didengar. Boedy tidak menyapa, tidak ikut campur. Ia hanya memperhatikan dari balik nasi uduknya yang mulai dingin. Saat ia selesai makan dan hendak membayar, ia berkata ke ibu warung, “Yang meja sana, sekalian ya Bu. Tapi jangan bilang dari siapa.”
Ia keluar tanpa menoleh lagi. Tak perlu melihat reaksi si ibu. Kadang, niat baik tak butuh pengakuan. Boedy kembali ke motornya, dan lagi-lagi menarik gas. Jakarta sudah mulai bising, tapi hati Boedy justru terasa lebih sunyi. Bukan sunyi yang menakutkan, tapi sunyi yang memberi ruang. Di tengah riuhnya kota yang bergerak cepat, ia merasa sedang berjalan pelan, seperti dalam dimensi sendiri.
Sepanjang perjalanan melewati Pasar Minggu, pikirannya sempat melayang ke teman-temannya di kantor dulu. Beberapa dari mereka mungkin sedang rapat pagi, mengeluh soal target, atau sekadar membahas drama kantor semalam. Boedy tak menyesal meninggalkan semua itu. Ia tahu, hidup bukan tentang siapa yang lebih sibuk, tapi siapa yang benar-benar hadir. Selama ini ia merasa hidupnya dijalankan seperti remote control. Bangun, kerja, makan siang, kerja lagi, pulang, tidur. Ulangi besok. Ia merasa seperti boneka yang diprogram dengan waktu. Tapi pagi ini, semuanya terasa beda. Ia memegang kendali penuh. Ia tidak tahu akan tidur di mana malam ini, tidak tahu akan ketemu siapa, atau akan makan apa—dan anehnya, ia tidak takut.