Volume 1 : Jakarta Bogor

Eko Broto Budiarto
Chapter #2

2. Bengkel di Pinggir Mampang

Pagi baru merangkak naik waktu Boedy melintasi Pasar Minggu. Langit masih pucat, seperti belum sepenuhnya sadar kalau hari sudah berganti. Boedy tak terlalu peduli dengan waktu, ia hanya mengikuti arah angin dan detak hatinya. Motornya berjalan perlahan, melewati tukang sayur yang baru menata dagangan, suara ibu-ibu menawar, dan klakson angkot yang tak sabaran. Jakarta masih bising, tapi Boedy sudah mulai terbiasa memisahkan bising luar dari tenang dalam.

Namun di tengah jalan Mampang yang padat dan sempit, motornya mulai terasa aneh. Setiap Boedy melaju, ada guncangan kecil di bagian belakang. Ia menepi di depan minimarket dan melihat ban belakangnya kempes. Ia menghela napas, bukan karena kesal, tapi karena sadar: perjalanan ini akan selalu menyelipkan "berhenti" sebagai bagian dari maju.

Di seberang jalan, ada bengkel kecil. Papan kayunya hampir lapuk, bertuliskan "Tambal & Servis – Komar Motor". Seorang lelaki tua sedang duduk di kursi plastik, menggenggam cangkir teh yang sudah dingin. Di dekatnya, seorang anak laki-laki sekitar 17 tahunan sedang membereskan alat-alat tambal ban.

Boedy mendorong motornya ke sana. Si lelaki tua menoleh, matanya sipit tertutup usia tapi sorotnya masih hangat. "Ban bocor ya?" tanyanya. Boedy tersenyum, "Iya, Pak. Belakang."

Tanpa banyak tanya, si anak langsung mengambil dongkrak kecil dan mulai membuka baut roda belakang. Boedy duduk di dekat mereka, menikmati suasana bengkel yang sunyi tapi hidup. Sesekali terdengar suara logam bergesekan, diselingi dengungan lalat dari warung sebelah. Tidak ada musik, tidak ada suara radio, hanya suara alat dan napas manusia yang bekerja.

Boedy memperhatikan anak itu bekerja. Gerakannya cekatan tapi wajahnya datar, seperti orang yang melakukan sesuatu karena terpaksa, bukan karena cinta. Boedy menoleh ke si bapak, yang ternyata bernama Pak Komar, seperti di papan. "Anaknya, Pak?" tanya Boedy. Si bapak mengangguk sambil menyeruput teh. "Namanya Danu."

Boedy tak langsung tanya lebih jauh. Ia tahu, kadang jawaban datang lebih jujur kalau ditunggu, bukan dipaksa keluar. Lima belas menit berlalu, dan ban sudah kembali terisi. Tapi sebelum Boedy berdiri, suara Pak Komar pelan terdengar, seperti gumaman, "Dulu dia pintar, sekolahnya bagus. Tapi sekarang ya beginilah."

Boedy menoleh, kali ini menatap langsung ke mata Pak Komar. Si bapak tidak mengelak, malah bercerita perlahan. "Waktu pandemi kemarin, saya sempat sakit. Utang menumpuk. Dia berhenti sekolah biar bisa bantu saya di sini. Katanya nanti bisa lanjut, tapi makin ke sini makin berat. Saya pengin dia sekolah lagi, tapi duit dari tambal ban begini paling cuma cukup buat makan."

Boedy menoleh ke Danu, yang sekarang sedang membersihkan tangannya dengan lap oli. Wajahnya masih datar. Tapi di balik tatapan kosong itu, Boedy melihat sisa-sisa api yang belum padam — mungkin hanya butuh satu tiupan kecil.

"Dia suka ngoprek HP, bikin gambar-gambar. Tapi sekarang udah nggak pernah lagi. Katanya percuma." Tambah Pak Komar.

Boedy menatap ke sekeliling. Bengkel itu sederhana sekali, tapi bersih. Di satu sisi, ada potongan banner bekas dari acara pernikahan. Di sisi lain, sebuah papan kayu kosong tergantung, seperti menunggu ditulisi harapan.

Boedy bangkit dari duduknya, lalu mendekati Danu. "Lu suka desain?" tanyanya pelan.

Danu mengangguk ragu. "Dulu. Sekarang nggak ada gunanya."

"Kenapa?"

"Karena nggak ada yang mau lihat," jawabnya singkat.

Lihat selengkapnya