Volume 1 : Jakarta Bogor

Eko Broto Budiarto
Chapter #3

3. Simpang Tiga Tanpa Lampu

Boedy hampir saja tidak melihatnya. Sebuah motor melaju kencang dari arah kanan, nyaris menghantam bagian belakang motornya saat ia melintas di simpang tiga kecil di kawasan Kalibata. Klakson bersahutan. Pengendara itu melotot, tapi terus melaju. Boedy hanya sempat angkat tangan tanda minta maaf, meski rasa kesalnya mendesak naik ke dada.

Ia tepikan motornya, memeriksa ban belakang. Tidak apa-apa. Tapi napasnya masih belum rata. Lalu ia menoleh ke belakang, ke arah simpang tiga itu. Tak ada lampu lalu lintas. Bahkan rambu pun tidak ada. Hanya jalan bercabang, aspal mulai mengelupas, dan bayangan kabel listrik yang menjuntai dari tiang ke tiang.

Dari tempatnya berdiri, ia perhatikan arus kendaraan. Dalam lima menit, dua motor hampir bersenggolan. Seorang ibu-ibu yang membonceng anaknya terpaksa berhenti mendadak. Boedy menghela napas, lalu duduk di trotoar. Ia menyalakan rokok, bukan karena ingin, tapi butuh menenangkan pikiran. Di seberangnya, sebuah warung kecil terlihat sepi. Ia memutuskan menyeberang.

Warung itu milik Bu Neneng, janda usia lima puluhan yang membuka warung kopi sejak anak-anaknya merantau ke luar kota. “Nggak ada lampu dari dulu, Mas,” katanya sambil menuangkan kopi ke gelas plastik. “Udah sering lapor ke kelurahan. Jawabannya selalu: 'Proses ya, Bu'. Tapi prosesnya udah lima tahun.”

Boedy mengangguk pelan. Ia tahu kalimat seperti itu. Kalimat yang tidak ingin menyakiti tapi juga tak berniat memberi harapan. Setengah jam di warung itu membuatnya mendengar lebih banyak cerita. Tentang pengendara yang meninggal dua tahun lalu, tentang anak-anak muda yang pernah berinisiatif buat rambu dari kayu, tapi dihancurkan oleh pengguna jalan yang kesal.

“Warga sini udah capek,” kata Pak Darto, tetangga warung Bu Neneng. “Yang muda-muda banyak yang udah nggak peduli. Yang tua pasrah. Kami udah nggak tahu harus mulai dari mana.”

Boedy tak langsung bicara. Ia hanya duduk, mendengar, mencatat dalam diam. Kadang orang butuh tempat untuk menyuarakan luka yang lama mengendap. Saat malam mulai turun, Boedy minta izin bermalam di pos ronda dekat masjid kecil. Karpetnya tipis, tapi cukup. Ia merasa perlu tinggal sehari lagi.

Pagi harinya, Boedy menyeduh kopi sendiri di warung Bu Neneng, yang sudah percaya padanya meski mereka baru kenal sehari. Tak lama, beberapa warga mulai berdatangan. Entah kenapa, mungkin karena Boedy berbeda. Bukan warga, bukan petugas, tapi juga bukan pengamat. Ia hadir seperti teman lama yang kebetulan lewat.

Boedy mulai bertanya. Bukan menawarkan solusi, hanya bertanya. “Kalau misalnya kita bikin rambu sendiri lagi, siapa yang mau bantu?” Satu dua orang tertawa kecil. “Kalau kita bikin spanduk, kasih peringatan, siapa yang bisa gambar?”

Pelan-pelan, ide-ide itu tumbuh. Seperti api kecil yang mulai dikipasi. Ada yang bilang punya kayu bekas. Ada yang bilang keponakannya bisa nge-print. Bahkan Danu, anak Pak Komar, yang kebetulan lewat untuk antar onderdil, ikut nimbrung. Dunia kecil itu saling berkait, rupanya.

Lihat selengkapnya