Volume 1 : Jakarta Bogor

Eko Broto Budiarto
Chapter #4

4. Angkot Terakhir dari Lenteng

Hujan turun pelan-pelan saat Boedy melintasi Lenteng Agung. Bukan hujan deras, tapi cukup untuk membuat jaketnya lembap dan matanya terus menyipit karena air yang jatuh dari helm. Malam belum terlalu larut, tapi jalanan sudah seperti tertelan sepi. Beberapa toko mulai menutup rolling door-nya, dan aroma tanah basah bercampur dengan sisa-sisa asap knalpot yang menggantung di udara. Boedy menepi di depan halte kecil yang sudah mulai lapuk. Plang “ANGKOT 112” nyaris tak terbaca, dan bangku kayunya berdecit saat ia duduk.

Motornya mogok—lagi. Kali ini bukan ban bocor, bukan rantai kendor, tapi mesin yang mendadak mati begitu saja. Ia mencoba menstarter ulang, tapi suara mesin hanya menggerung pendek, lalu diam seperti menyerah. Boedy mengusap helmnya pelan, menghela napas, lalu menengok ke arah jalan. Tak ada bengkel yang buka. Tak ada yang bisa dilakukan malam itu selain menunggu, atau... menumpang.

Tak lama kemudian, sebuah angkot tua berhenti di depannya. Warnanya sudah pudar, bodi dipenuhi stiker usang dan bekas tambalan cat. Pintu gesernya terbuka dengan suara gesek logam yang nyaring. Di dalam, hanya ada satu penumpang: seorang ibu yang tertidur sambil memeluk tas belanja. Sopirnya menunduk, rambutnya mulai memutih, dan matanya menyapu jalanan dengan kelelahan yang tak bisa disembunyikan.

Boedy masuk tanpa banyak kata. Ia duduk di kursi dekat pintu, memeluk tasnya dan memandangi tetes hujan yang menari di kaca jendela. Di dashboard, ada radio tua dengan knop yang hampir copot, tapi tak menyala. Hanya ada keheningan yang patah-patah oleh suara wiper dan derit suspensi yang bekerja keras. Boedy bisa merasakan, kendaraan ini sudah melewati banyak malam seperti ini.

"Masih jauh, Mas?" tanya sang sopir, suaranya serak, seperti suara orang yang terlalu lama diam.

"Nggak, Pak. Sampai pertigaan pasar aja."

Sopir itu mengangguk pelan, lalu kembali menatap jalan. Beberapa saat mereka diam, hanya ditemani bunyi hujan yang memukul atap angkot. Sampai akhirnya, Boedy memecah keheningan.

Lihat selengkapnya