Volume 1 : Jakarta Bogor

Eko Broto Budiarto
Chapter #5

5. Warung Rindu di Depok Lama

Hujan semalam menyisakan genangan kecil di sepanjang jalanan Depok Lama. Pagi belum benar-benar sibuk, hanya sesekali terdengar suara motor lewat dan langkah kaki orang tua yang membawa kantong belanja. Boedy berhenti di depan warung tua itu, warung yang dari luar terlihat seperti tak banyak menawarkan apa-apa selain kayu lapuk dan cat yang terkelupas.

Warung itu bernama Warung Rindu. Papan namanya digantungkan dengan kawat tipis, dan huruf-hurufnya sudah tidak lengkap, seakan-akan ikut memudar bersama kenangan yang terlalu lama tidak diucap. Pintu setengah terbuka, menyisakan celah kecil tempat aroma kopi hitam dan gorengan singkong menyelinap keluar seperti bisikan pagi hari.

Boedy masuk pelan-pelan. Tidak ada lonceng pintu, tidak ada suara "selamat pagi" dari penjaga. Hanya dua orang duduk di dalam: seorang lelaki tua duduk di dekat kompor, dan seorang perempuan seusianya mengelap meja yang sama untuk kesekian kalinya meski tak ada kotoran di sana.

Boedy menyapa dengan senyum kecil, “Pagi, Bu… Pak.”

Tak ada jawaban. Tapi si perempuan berhenti mengelap, dan si lelaki melirik sejenak, lalu kembali sibuk dengan sendok teh dan panci kecil. Boedy memilih duduk di bangku pojok, dekat jendela yang menghadap jalan. Ia tak butuh menu—warung seperti ini hanya punya satu atau dua macam makanan. Tapi bukan itu yang ia cari.

Setelah beberapa menit, sepiring nasi goreng sederhana dengan telur ceplok disajikan di depannya. Tak ada kata, tak ada tatapan. Hanya suara piring menyentuh meja, dan aroma bumbu yang entah kenapa seperti mengandung keheningan yang lama. Boedy makan pelan-pelan. Masing-masing suapan seperti mengambil bagian dari pagi yang ganjil ini—sunyi, tapi bukan karena sepi. Lebih karena ada sesuatu yang tak diucapkan di antara dua orang tua itu.

Mereka tak bicara satu sama lain. Si lelaki hanya fokus pada dapur, si perempuan tetap membersihkan meja yang tak kotor. Mereka berada di ruangan yang sama, tapi seperti berdiri di dua waktu yang berbeda. Seolah cinta mereka dulu sudah selesai, tapi tubuh mereka masih terlanjur ada di sini, menjalani sisa yang tak tahu harus bagaimana.

Boedy mengamati. Tak mencampuri. Tapi dadanya terasa berat, karena ia tahu: sunyi semacam ini bukan soal kehilangan—ini soal berhenti menyentuh.

Sambil menunggu teh manis panasnya, Boedy membuka buku kecil dari saku jaketnya. Buku lusuh, penuh coretan, bekas hujan dan kopi. Di dalamnya ada banyak hal: catatan, doa, peta setengah jadi, dan puisi-puisi yang ia tulis saat jalanan terlalu diam. Ia menulis satu puisi pendek, tanpa judul. Hanya beberapa baris tentang rindu yang tidak perlu suara, tentang pelukan yang cukup ada dalam cara menatap punggung orang yang tetap tinggal.

Lalu, saat hendak membayar, Boedy menyelipkan kertas puisi itu ke bawah uang lima puluh ribuan yang ia taruh di atas meja. Tak berkata apa-apa, hanya mengangguk ke arah si ibu dan keluar dari warung dengan langkah yang lambat, seolah tak ingin terlalu cepat meninggalkan ruangan yang sebenarnya juga sedang menunggu sesuatu.

Di luar, Boedy menyalakan motor, lalu berhenti sejenak sebelum benar-benar pergi. Ia tahu, efek dari puisi itu mungkin tak langsung. Atau bahkan tak akan pernah terjadi. Tapi bukan itu tujuannya. Ia hanya ingin mengganggu sunyi itu sedikit saja—cukup untuk membuka celah kecil bagi cahaya masuk.

Esok paginya, warung itu buka lebih awal dari biasanya. Papan nama digantungkan ulang dengan tali yang lebih kuat. Di dalam, meja yang biasa dilap berulang-ulang kini dihias sebatang bunga plastik kecil. Dan ketika Boedy kembali melintas dari kejauhan, ia melihat sesuatu yang sangat sederhana, tapi besar: si ibu dan si bapak duduk di bangku yang sama, membagi satu cangkir teh, dan senyum kecil menggantung di ujung bibir mereka.

Lihat selengkapnya